Rabu, 28 Agustus 2013

ARLOJI




Kepergianku dari rumah itu tidak membuatnya semakin baik. Padahal aku dengar sendiri, bahwa ia yang memintaku untuk mengangkat kaki dari rumah ini. Tapi aku tahu, ia hanya seorang nenek yang tidak ingin kesepian menjalani detik-detik terakhir hidupnya. Ia menginginkan cucu-cucunya, anak-anaknya dan menantu-menantunya berkumpul mengelilingi ranjang tempat ia berbaring. Ia ingin mereka menjamunya pada pagi hari dengan segelas susu hangat dan roti untuk sarapan. Ia ingin mereka merebus air hangat dan memandikannya pada sore hari. Tetapi yang ia dapati setiap pagi hari hingga menjelang tidur malam hanyalah aku, seorang menantu yang teramat ia benci.
            “Apa kamu tidak dengar Surti, aku memintamu untuk pergi!” suaranya yang tua terdengar ketus dan bergetar.
            Ia mengatakan seperti itu bukan untuk pertama kalinya. Sudah sering. Aku hanya pergi sejenak dari rumah dan akan kembali beberapa jam kemudian. Maka aku akan menjumpainya kembali sebagai seorang nenek yang hangat dan takut kesepian. Ia akan memintaku duduk di tepi ranjangnya atau menemaninya duduk di beranda rumah melihat matahari yang tenggelam perlahan menuju peraduannya. Ia akan bercerita tentang segala kenangan di masa lalu. Ketika ia masih seorang gadis belia yang berjualan tempe keliling, ketika ia di paksa menikah dengan seorang tentara perang yang hanya memiliki satu kaki dan ketika ia melarikan diri bersama suaminya ke Sumatra saat kampungnya di Pulau Jawa menjadi serbuan PKI.
            “Kita dulu pernah berjaya dalam pelarian itu. Kita memiliki kebun kopi yang cukup luas di Lampung. Kita tinggal di tengah hutan dengan rumah panggung dan membuatku harus berjalan begitu jauh untuk menuju ke pasar. Tapi sayangnya suamimu tidak ikut. Ia masih seorang bocah yang ku titipkan pada budhe mu, pada mbakyu ku itu,” kenangnya suatu senja.
            Tersadar suamiku tampak berbeda dari anak-anaknya yang lain. Ia tidak pernah menyentuh ibunya. Ia tidak pernah mau mendengarkan cerita-ceritanya. Ia yang paling tega membiarkan perempuan tua dan renta ini kesepian. Mungkin karena ia tahu tentang itu. Ia bahkan memilih untuk merantau dan pulang dua-tiga tahun sekali saat lebaran saja. Maka aku pun mengabdi pada ibu mertuaku ini untuk menebus kasih sayang yang seharusnya suamiku berikan padanya.
            Aku kembali beberapa jam setelah tadi ia memintaku untuk pergi. Tapi ia tidak seperti biasanya. Ia benar-benar menyuruhku untuk pergi.
            “Kenapa kembali? Apa kamu tuli, aku memintamu untuk pergi! Dasar wanita jalang! Pergi!”
            Aku menangis dan berlari keluar dari kamarnya. Tidak ada tanda-tanda kesalahan yang aku perbuat. Aku hanya menemukan arloji yang selama ini ia sia-siakan bahkan tak pernah di sentuh hancur berantakan. Seorang tetangga mengatakan bahwa menjelang fajar ia melihat ibu mertuaku berada di beranda dan bercakap-cakap seorang diri. Perempuan yang rambutnya sempurna berwarna perak itu menimang-nimang arloji tua itu. Arloji itu telah mati dan menunjukan pukul tiga lebih lima menit. Ia pun keluar pada waktu yang sama saat pagi itu.
            “Apa yang dia lakukan?” selidikku.
            “Aku mendengar ia menyebut namamu berulang-ulang. Ia juga seolah mengadu kepada suaminya. Ia juga menyebut nama suamimu. Ia meminta suamimu datang. Tapi nalurinya yang lain menolak. Hingga emosinya tidak terkendali dan membanting jam itu.”
            Aku tidak pergi kemana-mana. Aku hanya berada di rumah tetangga dan menunggu nenek itu berteriak-teriak memanggil namaku karena takut kesepian.
            “Surti, Surti, kamu dimana?” benarlah, setelah delapan jam aku tidak di rumah, nenek itu berteriak-teriak. Ia takut kesepian. Aku pun bergegas pulang dan menemaninya.
            “Aku ingin bertemu suamimu. Aku ingin anak-anak dan cucu-cucu ku. Aku akan segera menyusul pemberi jam ini!”
            Empat hari kemudian seluruh anak dan cucu yang berada di rantau telah mengelilingi ranjang nenek tua itu. Hanya satu yang tidak pulang, suamiku. Aku berusaha membujuknya melalui telephon tapi sia-sia. Ia bersikukuh tidak pulang.
            “Ia saja tega membiarkanku menyusu pada orang lain. Mengapa aku harus pulang? Ia memperlakukanku paling berbeda dari anaknya yang lain sejak aku kecil!” suamiku menutup telephonnya dan memutuskan tidak akan pulang.
            Perempuan tua itu memanggil namanya berulang kali. Memeluk arloji tua yang selama ini hanya di simpan dan di biarkan mati begitu saja. Tetapi arloji tua itu menunjukan waktu yang tepat mengantar kepulangannya. Kepulangan yang diliputi penyesalan. Kepulangan yang diliputi dosa. Pukul tiga sore lebih lima menit.
            “Siapa sebenarnya yang memberikan arloji itu?” tanyaku pada kakak ipar setelah ibu menghembuskan nafas terakhirnya.
            “Suamimu. . . “
            “Lalu yang ku telephon tadi. . .” aku bergumam sendiri dan teringat suami di seberang. 

Jogja, 16 Agustus 2013

(Di muat di buletin Ruang Selasa Sastra edisi Agustus 2013)

0 komentar:

Posting Komentar

prev next