Kepergianku dari rumah itu tidak
membuatnya semakin baik. Padahal aku dengar sendiri, bahwa ia yang memintaku
untuk mengangkat kaki dari rumah ini. Tapi aku tahu, ia hanya seorang nenek
yang tidak ingin kesepian menjalani detik-detik terakhir hidupnya. Ia
menginginkan cucu-cucunya, anak-anaknya dan menantu-menantunya berkumpul
mengelilingi ranjang tempat ia berbaring. Ia ingin mereka menjamunya pada pagi
hari dengan segelas susu hangat dan roti untuk sarapan. Ia ingin mereka merebus
air hangat dan memandikannya pada sore hari. Tetapi yang ia dapati setiap pagi
hari hingga menjelang tidur malam hanyalah aku, seorang menantu yang teramat ia
benci.
“Apa
kamu tidak dengar Surti, aku memintamu untuk pergi!” suaranya yang tua terdengar
ketus dan bergetar.
Ia
mengatakan seperti itu bukan untuk pertama kalinya. Sudah sering. Aku hanya
pergi sejenak dari rumah dan akan kembali beberapa jam kemudian. Maka aku akan
menjumpainya kembali sebagai seorang nenek yang hangat dan takut kesepian. Ia
akan memintaku duduk di tepi ranjangnya atau menemaninya duduk di beranda rumah
melihat matahari yang tenggelam perlahan menuju peraduannya. Ia akan bercerita
tentang segala kenangan di masa lalu. Ketika ia masih seorang gadis belia yang
berjualan tempe keliling, ketika ia di paksa menikah dengan seorang tentara
perang yang hanya memiliki satu kaki dan ketika ia melarikan diri bersama
suaminya ke Sumatra saat kampungnya di Pulau Jawa menjadi serbuan PKI.
“Kita dulu pernah berjaya dalam
pelarian itu. Kita memiliki kebun kopi yang cukup luas di Lampung. Kita tinggal
di tengah hutan dengan rumah panggung dan membuatku harus berjalan begitu jauh
untuk menuju ke pasar. Tapi sayangnya suamimu tidak ikut. Ia masih seorang
bocah yang ku titipkan pada budhe mu, pada mbakyu
ku itu,” kenangnya suatu senja.
Tersadar
suamiku tampak berbeda dari anak-anaknya yang lain. Ia tidak pernah menyentuh
ibunya. Ia tidak pernah mau mendengarkan cerita-ceritanya. Ia yang paling tega
membiarkan perempuan tua dan renta ini kesepian. Mungkin karena ia tahu tentang
itu. Ia bahkan memilih untuk merantau dan pulang dua-tiga tahun sekali saat
lebaran saja. Maka aku pun mengabdi pada ibu mertuaku ini untuk menebus kasih
sayang yang seharusnya suamiku berikan padanya.
Aku
kembali beberapa jam setelah tadi ia memintaku untuk pergi. Tapi ia tidak
seperti biasanya. Ia benar-benar menyuruhku untuk pergi.
“Kenapa
kembali? Apa kamu tuli, aku memintamu untuk pergi! Dasar wanita jalang! Pergi!”
Aku
menangis dan berlari keluar dari kamarnya. Tidak ada tanda-tanda kesalahan yang
aku perbuat. Aku hanya menemukan arloji yang selama ini ia sia-siakan bahkan
tak pernah di sentuh hancur berantakan. Seorang tetangga mengatakan bahwa
menjelang fajar ia melihat ibu mertuaku berada di beranda dan bercakap-cakap
seorang diri. Perempuan yang rambutnya sempurna berwarna perak itu menimang-nimang
arloji tua itu. Arloji itu telah mati dan menunjukan pukul tiga lebih lima
menit. Ia pun keluar pada waktu yang sama saat pagi itu.
“Apa
yang dia lakukan?” selidikku.
“Aku
mendengar ia menyebut namamu berulang-ulang. Ia juga seolah mengadu kepada
suaminya. Ia juga menyebut nama suamimu. Ia meminta suamimu datang. Tapi
nalurinya yang lain menolak. Hingga emosinya tidak terkendali dan membanting
jam itu.”
Aku
tidak pergi kemana-mana. Aku hanya berada di rumah tetangga dan menunggu nenek
itu berteriak-teriak memanggil namaku karena takut kesepian.
“Surti,
Surti, kamu dimana?” benarlah, setelah delapan jam aku tidak di rumah, nenek
itu berteriak-teriak. Ia takut kesepian. Aku pun bergegas pulang dan
menemaninya.
“Aku
ingin bertemu suamimu. Aku ingin anak-anak dan cucu-cucu ku. Aku akan segera menyusul
pemberi jam ini!”
Empat
hari kemudian seluruh anak dan cucu yang berada di rantau telah mengelilingi
ranjang nenek tua itu. Hanya satu yang tidak pulang, suamiku. Aku berusaha
membujuknya melalui telephon tapi sia-sia. Ia bersikukuh tidak pulang.
“Ia
saja tega membiarkanku menyusu pada orang lain. Mengapa aku harus pulang? Ia
memperlakukanku paling berbeda dari anaknya yang lain sejak aku kecil!” suamiku
menutup telephonnya dan memutuskan tidak akan pulang.
Perempuan
tua itu memanggil namanya berulang kali. Memeluk arloji tua yang selama ini
hanya di simpan dan di biarkan mati begitu saja. Tetapi arloji tua itu menunjukan
waktu yang tepat mengantar kepulangannya. Kepulangan yang diliputi penyesalan.
Kepulangan yang diliputi dosa. Pukul tiga sore lebih lima menit.
“Siapa
sebenarnya yang memberikan arloji itu?” tanyaku pada kakak ipar setelah ibu
menghembuskan nafas terakhirnya.
“Suamimu.
. . “
“Lalu
yang ku telephon tadi. . .” aku bergumam sendiri dan teringat suami di
seberang.
Jogja, 16 Agustus 2013
(Di muat di buletin Ruang Selasa Sastra edisi Agustus 2013)
0 komentar:
Posting Komentar