Kamis, 23 Januari 2014

KARAM

Keperawanan ini telah rayut, sayang. Hanya untuk menunggumu kembali. Menanti hal yang tak pernah ku sadari. Bahwa kau dan aku telah karam dalam perpisahan.

            Hujan kembali mengguyur dermaga senja ini. Hujan kesekian kali yang membasahi tubuh renta dengan rambut yang mulai beruban. Tubuh yang selalu menghadap kebarat setiap kali senja tiba. Menatap mentari yang hampir meninggalkan bumi. Menunggu munculnya kapal yang membawa seseorang setelah matahari ini tenggelam. Mungkin para pelayar yang bekerja di dermaga ini telah hafal akan bahasa tubuhku. Bahasa tubuh yang telah rayut dalam penantian. Bahkan dibawah hujan yang tak kunjung reda ini, ku relakan tubuhku tetap bertahan dibawah payung hitam yang suatu saat nanti akan memayungi kematianku. Kematian dalam kesepian yang tak kunjung usai.
            Aku teringat beberapa puluh tahun lalu saat menonton pemantasan teater Rendra dengan lakon Kereta Kencana, disebuah Auditorium Universitas Petra, Siwalankerto, Surabaya. Aku dan dia memilih duduk dibaris ketiga. Ia menggenggam mesra tanganku. Meremas lembut jemariku. Lima belas menit lagi, tepatnya pukul 19.00 pementasan yang kami tunggu akan segera dimulai.

Selasa, 21 Januari 2014

PULANG

            Aku menghitung mundur detik-detik kepulangannya. Aku menghitung mundur hari-hari yang kian sempit untuk ku lalui bersamanya. Aku menimang sebuah tanggal dan hari yang telah menyambutnya. Pulang.
***
            Jingga telah berkilat memenuhi cakrawala. Sang bidadari yang telah menyengat seharian tadi mulai meredup, membulat dan melangkah mundur secara perlahan menuju langit barat. Ia masih mengintip malu menyaksikan burung layang-layang yang juga terbang ke barat menuju sarangnya. Membentuk formasi yang berubah-ubah. Saling menggoda pasangannya.

Senin, 20 Januari 2014

KANIGORO


            Bukan Mbah Reso bila tidak memakai celana kain kolor komprang dan baju hitam seperti seorang warok dengan kaos putih didalamnya. Usianya telah mencapai delapan puluh delapan tahun. Usia yang kebanyakan orang telah mengalami sakaratul maut atau mulai sakit-sakitan dan tinggal menunggu jemputan ke alam baka. Tapi Mbah Reso lain. Ia memulai hidup sehat dengan menyulut rokok setiap pagi sebagai sarapan empat sehat lima sempurna. Rokok lintingan yang biasanya ia racik sendiri. Ia akan duduk di depan padepokannya mulai pukul enam hingga pukul sembilan pagi. Dalam tiga jam itu ia akan meninggalkan puluhan putung rokok lintingan di sekitar ia duduk. Setelah jam-jam itu biasanya akan ada anak-anak kecil yang main ke padepokannya dan memunguti sisa putung rokok Mbah Reso.
            “Buat apa, le?”
            Dolanan, mbah.”

Minggu, 05 Januari 2014

METAFORA

I
Melihatmu di kepung gedung-gedung tua kampus, maka tampaklah
olehku matahari terbit dari balik pundakmu. Meski sebenarnya
jam telah mengantar matahari tepat di atas ubun-ubun.
Aku masih bisa merekammu dari ketinggian lantai tiga.
Masih bisa ku sibakan debu yang menghalangi pandanganku.
Di ketinggian lantai tiga, di antara dua mataku yang terluka menatapmu,
memenjarakan tubuhmu dalam kornea mataku,
masih bisa ku sebut namamu dalam hati yang memar ini.
Tanpa ku harus turun dan menepuk bahumu, ketinggian lantai tiga ini
masih menampung tubuhku untuk tak terjatuh dihadapanmu.

prev next