Keperawanan ini telah rayut, sayang.
Hanya untuk menunggumu kembali. Menanti hal yang tak pernah ku sadari. Bahwa
kau dan aku telah karam dalam perpisahan.
Hujan
kembali mengguyur dermaga senja ini. Hujan kesekian kali yang membasahi tubuh
renta dengan rambut yang mulai beruban. Tubuh yang selalu menghadap kebarat
setiap kali senja tiba. Menatap mentari yang hampir meninggalkan bumi. Menunggu
munculnya kapal yang membawa seseorang setelah matahari ini tenggelam. Mungkin para
pelayar yang bekerja di dermaga ini telah hafal akan bahasa tubuhku. Bahasa
tubuh yang telah rayut dalam penantian. Bahkan dibawah hujan yang tak kunjung
reda ini, ku relakan tubuhku tetap bertahan dibawah payung hitam yang suatu
saat nanti akan memayungi kematianku. Kematian dalam kesepian yang tak kunjung
usai.
Aku
teringat beberapa puluh tahun lalu saat menonton pemantasan teater Rendra
dengan lakon Kereta Kencana, disebuah Auditorium Universitas Petra,
Siwalankerto, Surabaya. Aku dan dia memilih duduk dibaris ketiga. Ia
menggenggam mesra tanganku. Meremas lembut jemariku. Lima belas menit lagi,
tepatnya pukul 19.00 pementasan yang kami tunggu akan segera dimulai.