Keperawanan ini telah rayut, sayang.
Hanya untuk menunggumu kembali. Menanti hal yang tak pernah ku sadari. Bahwa
kau dan aku telah karam dalam perpisahan.
Hujan
kembali mengguyur dermaga senja ini. Hujan kesekian kali yang membasahi tubuh
renta dengan rambut yang mulai beruban. Tubuh yang selalu menghadap kebarat
setiap kali senja tiba. Menatap mentari yang hampir meninggalkan bumi. Menunggu
munculnya kapal yang membawa seseorang setelah matahari ini tenggelam. Mungkin para
pelayar yang bekerja di dermaga ini telah hafal akan bahasa tubuhku. Bahasa
tubuh yang telah rayut dalam penantian. Bahkan dibawah hujan yang tak kunjung
reda ini, ku relakan tubuhku tetap bertahan dibawah payung hitam yang suatu
saat nanti akan memayungi kematianku. Kematian dalam kesepian yang tak kunjung
usai.
Aku
teringat beberapa puluh tahun lalu saat menonton pemantasan teater Rendra
dengan lakon Kereta Kencana, disebuah Auditorium Universitas Petra,
Siwalankerto, Surabaya. Aku dan dia memilih duduk dibaris ketiga. Ia
menggenggam mesra tanganku. Meremas lembut jemariku. Lima belas menit lagi,
tepatnya pukul 19.00 pementasan yang kami tunggu akan segera dimulai.
Lampu
padam. Pertunjukan dimulai. Lampu berpusat pada sebuah stage tempat pementasan Kereta Kencana. Aku masih ingat betul,
lakon itu diperankan oleh sepasang suami istri. Rendra dan istrinya, Ken
Zuraida. Disana dikisahkan sepasang manusia yang sudah lanjut usia tengah
berada dalam detik-detik akhir usia mereka. Sambil menunggu kedatangan sebuah
kereta kencana yang ditarik sepuluh ekor kuda satu warna yang akan menjemput
mereka ke alam baka, keduanya tengah membayangkan bayi mereka terayun-ayun di
kursi itu.
Aku
membayangkan itu adalah aku dan tunanganku. Tunanganku yang malam itu masih duduk
disampingku. Tunanganku yang masih bisa membisikan kata-kata indah ditelingaku
setiap kali adegan itu terasa romantis. Aku larut dalam seluruh bayangan dan
harapan. Aku menyandarkan kepalaku dibahu tunanganku. Menikmati malam panjang
dengan suguhan Kereta Kencana.
Aku
teringat betapa tokoh kakek yang diperankan oleh Rendra merasa merana karena
belum cukup mengisi hidupnya dengan baik. Namun tokoh nenek yang diperankan
oleh Ken Zuraida dan lebih realistis selalu mengingatkan puncak-puncak
kegemilangan hidup mereka pada masa lalu. Aku bisa merasakannya hari ini.
Menunggui kekasih setiap kali senja tiba sambil mengenang masa-masa lampau yang
terasa singkat.
Kapal
yang ku tunggu menjelma menjadi kereta kencana dalam khayalku. Kereta kencana
yang akan mengantar kekasihku kembali. Aku merindukan masa-masa lampau yang
selalu menyeringai setiap kali melintas dalam benak.
“Apa
yang kau bayangkan?” tunanganku bertanya saat aku mulai tersenyum-senyum sambil
menikmati pementasan Kereta Kencana beberapa puluh tahun silam.
“Aku
membayangkan, kita akan bersama-sama menikmati masa tua itu. Masa-masa menunggu
kematian dan akan menaiki kereta kencana menuju ke alam baka,” jawabku masih
hanyut dengan lakon itu.
Tunanganku
tersenyum.
“Bayanganmu
terlalu tinggi. Tidak ada kereta kencana yang akan mengantar kita ke alam baka.
Hanya cinta kita yang akan mempertemukan kita dialam baka nanti,” sangkalnya
sambil membelai kepalaku yang masih bersandar dibahunya. Aku tersenyum tanpa
sadar bahwa malam itu merupakan malam terakhir ia membisikan kata-kata indah
untukku.
Seminggu
usai pementasan itu, ia meminta izin padaku untuk melaksanakan tugasnya
berlayar selama empat tahun. Aku tak mungkin menahannya, mengingat profesinya
sebagai awak kapal dalam sebuah kapal niaga. Empat tahun akan terasa singkat
pikirku. Empat tahun lagi ia akan kembali dan menikahiku. Aku mengiyakan dengan
berat hati. Aku melepasnya tepat saat senja tiba dimusim hujan, di dermaga
tempatku menunggunya sekarang.
Tahun
demi tahun ku lewati tanpanya. Setahun sekali kudatangi dermaga tepat pada
bulan saat aku melepasnya. Mengenang kembali detik-detik perpisahan yang
membuatku harus mengurai air mata. Suratnya datang setiap bulan. Ia
menceritakan tentang pekerjaannya, keberadaannya, dan suka dukanya berlayar. Surat-surat
yang selalu mengakhiri rindu yang menjarah hatiku setiap kali mengenang
pementasan Kereta Kencana.
Masa
yang ku tunggu telah tiba. Empat tahun berlalu begitu cepat. Aku menunggu di
dermaga di bulan dan musim yang sama. Berberapa phooong kapal merapat dihadapanku, tapi tak satu pun wajah
tunanganku itu muncul dari kerumunan orang-orang yang keluar dari kapal. Hingga
bulan-bulan berikutnya, tak ada lagi surat-surat darinya. Sejak saat itu aku
memutuskan untuk menunggu didermaga setiap kali senja tiba.
“Masih
menunggu seseorang ya, mbak?” sapa seorang penjaga dermaga yang beberapa hari
ini ku jumpai setiap kali aku datang ke dermaga itu. Aku hanya mengangguk.
“Kapal
terakhir akan tiba pukul 23.00 malam ini,” lanjutnya memberitahu.
“Iya,
terima kasih,” jawabku singkat tanpa menoleh kearahnya.
Ia
pun memutuskan untuk meninggalkanku. Tapi ku tahu, ia memantauku dari dalam
posnya. Mendung telah menggumpal. Awan-awan tampak lebam. Mungkin sebentar lagi
hujan akan meretas turun ke bumi. Benarlah. Tetes-tetesnya yang runcing turun
semakin cepat menembus syaraf meresap kedalam pori. Aku masih membiarkan
tubuhku terbasuh oleh airnya hingga kapal terakhir untuk malam ini tiba.
Kau
bilang, kau akan kembali. Ini telah musim gerimis kesekian kalinya, sayang. Tubuh
renta ini tak kuasa lagi bertahan. . .
Ku
gulung kertas yang berisi penggalan kata-kata itu lantas ku masukan kedalam
botol. Aku membuangnya jauh-jauh hingga terbawa ombak. Ku harap botol itu akan
menggapai kapalnya. Mengetuk hatinya dengan rinduku yang terbawa bersamanya.
Aku
tahu, aku perawan tua. Aku dengar bibir orang menggunjingku. Aku merasakan luka
yang menyayat batinku. Tapi mereka tak tahu, betapa hati ini akan selalu
menunggunya. Aku kembali teringat kereta kencana yang akan membawaku ke alam
baka bersamanya. Kereta itu seharusnya datang pada saat yang tepat. Saat ini.
Kereta itu seharusnya mengantarku untuk mencari tunanganku terlebih dahulu.
Rambutku
telah beruban dipenantianku yang telah genap lima belas tahun. Aku mulai
merindukan seorang jabang. Merindukan tangisnya dan merindukan tubuhnya yang
mungil dalam dekapanku. Aku merindukan mengayunnya dalam sebuah ayunan yang
telah ku buat didalam rumah. Aku merindukan semua itu. Merindukan. . .
Entah
apa yang membuatku bertahan menantinya. Cinta? Kasih sayang? Entah. Ini hanya
tinggal sepenggal kisah yang tak terselesaikan. Aku dan dia. Tak akan ada
kereta kencana yang ku tumpangi bersamanya. Tak ada lagi bayi mungil yang akan
menghuni ayunan yang telah ku buat.
“Mbak,
masih menunggunya?” seorang penjaga dermaga itu kembali menyapaku. Ia melihat
rambutku yang telah beruban. Sekitar mataku yang telah keriput. Ia mungkin
hanya lebih tua satu-dua tahun diatasku.
Kali
ini aku tak bisa lagi bertahan layaknya karang yang dihempas ombak. Aku
meluapkan sisa air mata yang hampir kering ini.
“Ini
penantian yang panjang. . .”
Kali
ini ia menemaniku menghabiskan malam, duduk ditepi dermaga. Di bulan yang tepat
lima belas tahun penantianku. Di musim hujan yang datang untuk kesekian kali.
Dibawah payung hitam yang menggantikan kereta kencana untuk mengantarku ke alam
baka suatu saat nanti.
Tetes-tetes
hujan mereda menjelang fajar. Lautan pasang. Mercusuar masih memantau
keheningan laut dengan lampu puluhan watt yang senantiasa berputar-putar.
Tiba-tiba sebuah botol merapat kehadapanku. Setelah ku buka hanya berisi
beberapa baris kalimat.
Sabarlah
dahulu,
Kapalku
sedang bertarung melawan badai. Sama seperti cinta kita yang tengah bertarung
melawan waktu. Kita yang masih percaya, akan manisnya perjamuan. Dari pertemuan
yang tertunda. Arahkan nafasmu untuk memanduku pulang.
Tunanganmu, Dika
Jogja, April 2013
:puisi tempatmu berlayar, Dika:
Cerpen "Inilah Koran" Edisi 8
September 2013
1 komentar:
BetVictor Slots: Review & Bonus Code for December 2021
Read our 당진 출장마사지 BetVictor review and 과천 출장안마 get the latest 하남 출장샵 bonus code to start playing at the casino. Claim the 원주 출장샵 BetVictor welcome 속초 출장마사지 offer!
Posting Komentar