Kamis, 23 Januari 2014

KARAM

Keperawanan ini telah rayut, sayang. Hanya untuk menunggumu kembali. Menanti hal yang tak pernah ku sadari. Bahwa kau dan aku telah karam dalam perpisahan.

            Hujan kembali mengguyur dermaga senja ini. Hujan kesekian kali yang membasahi tubuh renta dengan rambut yang mulai beruban. Tubuh yang selalu menghadap kebarat setiap kali senja tiba. Menatap mentari yang hampir meninggalkan bumi. Menunggu munculnya kapal yang membawa seseorang setelah matahari ini tenggelam. Mungkin para pelayar yang bekerja di dermaga ini telah hafal akan bahasa tubuhku. Bahasa tubuh yang telah rayut dalam penantian. Bahkan dibawah hujan yang tak kunjung reda ini, ku relakan tubuhku tetap bertahan dibawah payung hitam yang suatu saat nanti akan memayungi kematianku. Kematian dalam kesepian yang tak kunjung usai.
            Aku teringat beberapa puluh tahun lalu saat menonton pemantasan teater Rendra dengan lakon Kereta Kencana, disebuah Auditorium Universitas Petra, Siwalankerto, Surabaya. Aku dan dia memilih duduk dibaris ketiga. Ia menggenggam mesra tanganku. Meremas lembut jemariku. Lima belas menit lagi, tepatnya pukul 19.00 pementasan yang kami tunggu akan segera dimulai.
            Lampu padam. Pertunjukan dimulai. Lampu berpusat pada sebuah stage tempat pementasan Kereta Kencana. Aku masih ingat betul, lakon itu diperankan oleh sepasang suami istri. Rendra dan istrinya, Ken Zuraida. Disana dikisahkan sepasang manusia yang sudah lanjut usia tengah berada dalam detik-detik akhir usia mereka. Sambil menunggu kedatangan sebuah kereta kencana yang ditarik sepuluh ekor kuda satu warna yang akan menjemput mereka ke alam baka, keduanya tengah membayangkan bayi mereka terayun-ayun di kursi itu.
            Aku membayangkan itu adalah aku dan tunanganku. Tunanganku yang malam itu masih duduk disampingku. Tunanganku yang masih bisa membisikan kata-kata indah ditelingaku setiap kali adegan itu terasa romantis. Aku larut dalam seluruh bayangan dan harapan. Aku menyandarkan kepalaku dibahu tunanganku. Menikmati malam panjang dengan suguhan Kereta Kencana.
            Aku teringat betapa tokoh kakek yang diperankan oleh Rendra merasa merana karena belum cukup mengisi hidupnya dengan baik. Namun tokoh nenek yang diperankan oleh Ken Zuraida dan lebih realistis selalu mengingatkan puncak-puncak kegemilangan hidup mereka pada masa lalu. Aku bisa merasakannya hari ini. Menunggui kekasih setiap kali senja tiba sambil mengenang masa-masa lampau yang terasa singkat.
            Kapal yang ku tunggu menjelma menjadi kereta kencana dalam khayalku. Kereta kencana yang akan mengantar kekasihku kembali. Aku merindukan masa-masa lampau yang selalu menyeringai setiap kali melintas dalam benak.
            “Apa yang kau bayangkan?” tunanganku bertanya saat aku mulai tersenyum-senyum sambil menikmati pementasan Kereta Kencana beberapa puluh tahun silam.
            “Aku membayangkan, kita akan bersama-sama menikmati masa tua itu. Masa-masa menunggu kematian dan akan menaiki kereta kencana menuju ke alam baka,” jawabku masih hanyut dengan lakon itu.
            Tunanganku tersenyum.
            “Bayanganmu terlalu tinggi. Tidak ada kereta kencana yang akan mengantar kita ke alam baka. Hanya cinta kita yang akan mempertemukan kita dialam baka nanti,” sangkalnya sambil membelai kepalaku yang masih bersandar dibahunya. Aku tersenyum tanpa sadar bahwa malam itu merupakan malam terakhir ia membisikan kata-kata indah untukku.
            Seminggu usai pementasan itu, ia meminta izin padaku untuk melaksanakan tugasnya berlayar selama empat tahun. Aku tak mungkin menahannya, mengingat profesinya sebagai awak kapal dalam sebuah kapal niaga. Empat tahun akan terasa singkat pikirku. Empat tahun lagi ia akan kembali dan menikahiku. Aku mengiyakan dengan berat hati. Aku melepasnya tepat saat senja tiba dimusim hujan, di dermaga tempatku menunggunya sekarang.
            Tahun demi tahun ku lewati tanpanya. Setahun sekali kudatangi dermaga tepat pada bulan saat aku melepasnya. Mengenang kembali detik-detik perpisahan yang membuatku harus mengurai air mata. Suratnya datang setiap bulan. Ia menceritakan tentang pekerjaannya, keberadaannya, dan suka dukanya berlayar. Surat-surat yang selalu mengakhiri rindu yang menjarah hatiku setiap kali mengenang pementasan Kereta Kencana.
            Masa yang ku tunggu telah tiba. Empat tahun berlalu begitu cepat. Aku menunggu di dermaga di bulan dan musim yang sama. Berberapa phooong kapal merapat dihadapanku, tapi tak satu pun wajah tunanganku itu muncul dari kerumunan orang-orang yang keluar dari kapal. Hingga bulan-bulan berikutnya, tak ada lagi surat-surat darinya. Sejak saat itu aku memutuskan untuk menunggu didermaga setiap kali senja tiba.
            “Masih menunggu seseorang ya, mbak?” sapa seorang penjaga dermaga yang beberapa hari ini ku jumpai setiap kali aku datang ke dermaga itu. Aku hanya mengangguk.
            “Kapal terakhir akan tiba pukul 23.00 malam ini,” lanjutnya memberitahu.
            “Iya, terima kasih,” jawabku singkat tanpa menoleh kearahnya.
            Ia pun memutuskan untuk meninggalkanku. Tapi ku tahu, ia memantauku dari dalam posnya. Mendung telah menggumpal. Awan-awan tampak lebam. Mungkin sebentar lagi hujan akan meretas turun ke bumi. Benarlah. Tetes-tetesnya yang runcing turun semakin cepat menembus syaraf meresap kedalam pori. Aku masih membiarkan tubuhku terbasuh oleh airnya hingga kapal terakhir untuk malam ini tiba.
Kau bilang, kau akan kembali. Ini telah musim gerimis kesekian kalinya, sayang. Tubuh renta ini tak kuasa lagi bertahan. . .
            Ku gulung kertas yang berisi penggalan kata-kata itu lantas ku masukan kedalam botol. Aku membuangnya jauh-jauh hingga terbawa ombak. Ku harap botol itu akan menggapai kapalnya. Mengetuk hatinya dengan rinduku yang terbawa bersamanya.
            Aku tahu, aku perawan tua. Aku dengar bibir orang menggunjingku. Aku merasakan luka yang menyayat batinku. Tapi mereka tak tahu, betapa hati ini akan selalu menunggunya. Aku kembali teringat kereta kencana yang akan membawaku ke alam baka bersamanya. Kereta itu seharusnya datang pada saat yang tepat. Saat ini. Kereta itu seharusnya mengantarku untuk mencari tunanganku terlebih dahulu.
            Rambutku telah beruban dipenantianku yang telah genap lima belas tahun. Aku mulai merindukan seorang jabang. Merindukan tangisnya dan merindukan tubuhnya yang mungil dalam dekapanku. Aku merindukan mengayunnya dalam sebuah ayunan yang telah ku buat didalam rumah. Aku merindukan semua itu. Merindukan. . .
            Entah apa yang membuatku bertahan menantinya. Cinta? Kasih sayang? Entah. Ini hanya tinggal sepenggal kisah yang tak terselesaikan. Aku dan dia. Tak akan ada kereta kencana yang ku tumpangi bersamanya. Tak ada lagi bayi mungil yang akan menghuni ayunan yang telah ku buat.
            “Mbak, masih menunggunya?” seorang penjaga dermaga itu kembali menyapaku. Ia melihat rambutku yang telah beruban. Sekitar mataku yang telah keriput. Ia mungkin hanya lebih tua satu-dua tahun diatasku.
            Kali ini aku tak bisa lagi bertahan layaknya karang yang dihempas ombak. Aku meluapkan sisa air mata yang hampir kering ini.
            “Ini penantian yang panjang. . .”
            Kali ini ia menemaniku menghabiskan malam, duduk ditepi dermaga. Di bulan yang tepat lima belas tahun penantianku. Di musim hujan yang datang untuk kesekian kali. Dibawah payung hitam yang menggantikan kereta kencana untuk mengantarku ke alam baka suatu saat nanti.
            Tetes-tetes hujan mereda menjelang fajar. Lautan pasang. Mercusuar masih memantau keheningan laut dengan lampu puluhan watt yang senantiasa berputar-putar. Tiba-tiba sebuah botol merapat kehadapanku. Setelah ku buka hanya berisi beberapa baris kalimat.

Sabarlah dahulu,
Kapalku sedang bertarung melawan badai. Sama seperti cinta kita yang tengah bertarung melawan waktu. Kita yang masih percaya, akan manisnya perjamuan. Dari pertemuan yang tertunda. Arahkan nafasmu untuk memanduku pulang.
Tunanganmu, Dika

Jogja, April 2013
:puisi tempatmu berlayar, Dika:
Cerpen "Inilah Koran" Edisi 8 September 2013

1 komentar:

aamenahaacke mengatakan...

BetVictor Slots: Review & Bonus Code for December 2021
Read our 당진 출장마사지 BetVictor review and 과천 출장안마 get the latest 하남 출장샵 bonus code to start playing at the casino. Claim the 원주 출장샵 BetVictor welcome 속초 출장마사지 offer!

Posting Komentar

prev next