Minggu, 15 Desember 2013

DI DEPAN PINTU RUMAH


             Di depan pintu rumahku, aku terduduk menghadap seorang gembala yang sedang menggiring angin. Jauh dua meter di hadapanku, ia menghalau lima belas ekor domba yang harus ku hitung dengan lima kali kesalahan. Pertama, aku menghitungnya ada sebelas ekor. Tetapi aku tidak yakin, lalu ku ulangi kembali, domba itu menjadi sepuluh ekor, lebih sedikit, tidak mungkin pikirku. Ketiga kalinya, aku menghitung ada dua belas ekor. Aku mohon tenanglah domba-domba yang sedang ku hitung! Aku di buat gemas oleh domba-domba yang dari jarak dua meter tampak seperti bongkahan kapas berterbangan. Mereka berlari semaunya memburu dimana ada rumput yang rekah. Keempat kalinya, aku menghitung domba itu kembali berjumlah sebelas. Kali ini kesalahan di buat oleh si penggembala, ia mengahalangi pandanganku. Ia menghalau domba-domba supaya mereka berada dekat dengan tuannya. Curang, pikirku. Penggembala itu duduk di bawah sebuah pohon beringin rimbun, sementara ia tak mengijinkan domba-dombanya menuju kebun jagung yang berada agak jauh untuk mencari tempat teduh yang rumputnya lebih rekah, barang sejenak. Sudahlah, akan ku lanjutkan hitunganku untuk kelima kalinya, domba itu berjumlah empat belas. Aku mohon tenanglah domba-domba yang sedang ku hitung!
            Ku alihkan pandanganku sejenak pada si penggembala, sambil menunggu domba-domba itu tenang. Ia seorang remaja tanggung bertopi hitam. Duduk memeluk lutut sambil mambawa sebuah ranting di tangan kirinya. Ia menunggui domba-dombanya yang sedang merumput dengan khikmat. Ia diam seperti sedang membujuk para rumput untuk segera tumbuh kembali, supaya esok hari ia bisa kembali mengantar domba-dombanya untuk merumput. Domba-domba itu sudah tenang. Mereka diam dalam formasi yang sempurna, sehingga aku yakin hitunganku kali ini tidak akan salah. Ya, ada lima belas ekor domba. Bahkan aku bisa melihat lima ekor domba bertanduk dan empat ekor domba kecil. Mereka tampak manis sekali. Bongkahan-bongkahan kapas itu menikmati santap sorenya dengan nikmat.    
            Di depan pintu rumahku. Aku masih duduk di sana di temani dua ekor kucing yang sedang tidur melingkar. Dua buah pesawat telah lewat, sepanjang dua jam aku duduk di depan pintu rumah.
            “Ken, masuklah! Aku telah menyiapkan air hangat untukmu. Mandilah!”
            “Sebentar Mary, aku sedang tidak ingin melewatkan domba-domba dan pesawat yang dapat ku lihat dari depan pintu rumahku ini. Mungkin sebentar lagi akan ada sesuatu yang lain.”
            “Kau bisa melihatnya kapan saja Ken. Sekarang mandilah!”
            “Apakah kau bisa menjamin aku bisa menikmati pemandangan ini kapan saja?” kali ini aku meninggikan suaraku. Tidak ada jawaban. Mary memilih kembali ke dalam dan membiarkanku duduk di depan pintu rumah dengan dua ekor kucing yang masih tidur melingkar di bawah kakiku.
            Ada pesawat lagi. Kali ini aku menangkap deru suaranya dengan jelas. Melihat tubuhnya yang di hiasi lampu merah di bawah sayapnya. Ia melintas tepat di atas domba-domba yang masih asyik merumput. Deru suaranya mengusik seekor domba kecil sehingga ia tampak berlarian berlindung di bawah ketiak induknya. Lalu ia pun menyusu. Aku tersenyum. Kantong susu itu dapat menenangkan dalam segala suasana. Telingaku masih menangkap deru pesawat, meskipun tubuhnya telah ditelan gumpalan putih diatas sana. Tetapi sepertinya aku masih melihat para penumpang yang selalu ingin tahu keadaan di luar jendela yang tak boleh di buka itu. Mereka ingin sekali menyaksikan tubuh-tubuh mungil yang sedang menyentuh tanah. Termasuk aku dan domba-domba, juga penggembala itu. Aku melihat mereka meninggalkan jejak kenangan di kota sebelumnya, membiarkan burung bermesin itu menerbangkan mereka ke tempat lain.
            “Ken, mandilah!”
            “Aku sedang menghitung seberapa banyak kenangan yang orang-orang itu tinggalakan di kota sebelumnya, sebelum mereka naik pesawat untuk pergi ke kota lain.”
            “Itu bukan urusanmu Ken! Urusanmu sekarang adalah mandi!”
            “Sebentar Mary, aku tidak mau melewatkan pesawat dan para panumpangnya.”
            “Kau teringat sesuatu Ken?” kali ini Mary memegang bahuku. Mataku menyapu permukaan langit.
            “Ken?” Mary kembali memanggilku lembut.
***
             Setidaknya kita pernah melewati banyak hal di depan pintu rumah ini. Kita pernah duduk berdua sambil memangku kucing-kucing kita. Aku memangku kucing berwarna putih dan kau memangku kucing yang berwarna hitam. Di depan pintu rumah ini, kita duduk berdua sambil menghitung burung layang-layang yang dulu singgah di hamparan sawah yang sekarang telah menjadi kebun jagung. Domba-domba itu dulu berjumlah tiga belas ekor. Penggembalanya seorang anak kecil yang selalu telanjang dada.
            Di depan pintu rumah ini, kita bersama-sama mengukir nama kita dalam sebuah tiang kayu yang menyangga atap teras rumahku. Kayu itu sudah mulai lapuk termakan usia, tapi nama kita masih ada.
            “Maukah kau ku buatkan secangkir kopi robusta?” kau mengangguk sambil tersenyum ke arahku.
            Kita selalu duduk di depan pintu rumah ini sambil menikmati secangkir kopi robusta buatanku dan setoples biskut cokelat kesukaan kita. Sambil menunggu anak gembala menghalau domba-dombanya untuk pulang. Sambil menunggu bangau-bangau itu pulang ke sarangnya. Tetangga-tetangga selalu hafal dan melambaikan tangannya ketika lewat di hadapan kita.
            “Andy?”
            “Ya, Ken.”
            “Aku ingin selalu duduk disini bersamamu. Sambil menimang anak-anak kita, kelak. Mengenalkan dan mengajari mereka menghitung domba-domba itu.”
            “Tentu, Ken”, jawabmu sambil merapatkan diri padaku dan memelukku.
            Pernah suatu ketika kau tak menemaniku duduk di depan pintu rumah ini. Tetangga-tetangga itu mengerutkan wajah bertanya-tanya, dimana kamu. Penggembala kecil sesekali melemparkan tatapan asing padaku. Tatapan yang tak pernah ku kenal, selama kita selalu duduk berdua dan membalas lambaian anak gembala  itu setiap kali ia lewat. Tetapi aku tetap menyediakan dua buah cangkir kopi robusta dan setoples biskuit cokelat kesukaan kita. Barangkali kau tiba-tiba datang dan menemaniku lagi. Kopi milikmu ku biarkan dingin dan tak terminum. Begitu seterusnya. Aku tak bisa lagi menghitung berapa banyak kopi yang terbuang sia-sia. Mary selalu membereskan tanpa harus ku suruh lagi.
***
            “Ken, apa kau mengingat sesuatu?” Mary kembali menanyaiku lembut.
            “Aku membayangkan ia melambaikan tangan dari pesawat itu.” Mary memelukku erat.
            Penggembala itu lewat di hadapanku. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum padaku. Aku hanya membalasnya dengan senyum tipis.
            “Siapa penggembala itu?”
            “Dia penggembala kecil yang dulu selalu bertelanjang dada.”
            Aku baru sadar. Aku telah lama duduk di depan pintu ini, sambil menunggui kopi robusta yang sudah dingin dari tadi.
            “Mandilah!”
            Aku mengalah dan masuk ke dalam untuk mandi, bersamaan dengan telepon yang berdering. Aku bergegas menyambar gangang telepon itu. Pembicaraan yang singkat dari seberang.
            “Bersiaplah Mary, kita akan ke bandara menjemput seseorang.”

Jogja, 31 Oktober 2013
:mengiringi kepulanganmu yang kedua kalinya, Andy:

(“Di Depan Pintu Rumah” Minggu Pagi, 6 Desember 2013)
prev next