PERKEMBANGAN
CERITA PENDEK INDONESIA ANGKATAN 1960-1970-AN
Oleh: Weda Sasmita Atmanegara
NIM: 12210141018
Mata Kuliah : Sejarah Sastra
Dosen Pengampu: Drs. Maman
Suryaman, M. Pd
Program Studi: Bahasa dan Sastra
Indonesia
Makalah ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Sejarah Sastra
FAKULTAS BAHASA DAN
SENI
UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA
2013
Sekapur
Sirih
Cerita
pendek (cerpen) Indonesia merupakan sebuah genre sastra modern yang mulai
berkembang pada dekade tahun 1930-an. Sangat menarik untuk dicatat bahwa dua
orang perintis penulisan cerpen Indonesia, yakni Muhammad Kasim dan Suman Hs
menulis cerpen yang jujur, segar, jernih dan sederhana. Efek tertawa gembira
adalah tujuan yang hendak mereka capai dengan cerpen-cerpennya. Mereka banyak
mengambil tokoh-tokoh rakyat biasa yang bodoh, yang dijadikan bulan-bulanan
untuk berseloroh. Untuk lelucon-leluconnya itu, M. Kasim dan Suman Hs mencari
segi-segi humor dalam kehidupan sehari-hari. Mereka sebenarnya menimba dan
melanjutkan cerita-cerita lisan seperti Si Kabayan atau Demang Kedangkrang.
Dalam
perkembangan selanjutnya, sistem konvensi sastra yang sudah dirintis jalannya
oleh M. Kasim dan Suman Hs ini tidak dilanjutkan oleh pengarang-pengarang
lainnya. Dalam sejarah cerpen Indonesia hanya sekali itu timbul jenis cerita
yang demikian: cerita yang penuh humor, optimis dalam kehidupan, dan yang
mengangkat dan melanjutkan tradisi cerita rakyat tradisional.
Dengan
lenyapnya pengaruh cerita-cerita M. Kasim dan Suman Hs, maka lepaslah pula mata
rantai penghubung dengan cerita rakyat tradisional nusantara. sebaliknya
mulailah tradisi penulisan cerpen menurut konsep Barat, yang berorientasi pada
masalah-masalah sosial maupun kedalaman ide pemikiran. Ini berarti, model
cerita ‘asli’ itu tidak memasuki arus utama cerpen Indonesia, tidak menjadi
‘official’.
Disamping
itu, konvensi-konvensi sastra tidak pernah kaku dan statis melainkan selalu
dalam proses perubahan dan pengembangan. Perubahan dapat terjadi secara internal,
karena keinginan mencari pengucapan baru, menciptakan kejutan baru; tetapi juga
yang bersifat eksternal, yakni disebabkan oleh perubahan sosial, intelektual,
dan perubahan budaya lainnya (Wellek, 1989: 361). Perubahan-perubahan ini
sesuai dengan hakikat pelembagaan sebuah genre sastra, yang berproses secara
lamban untuk menjadi genre yang ‘official’ (Guillen, 1971: 125). Maksudnya,
genre tersebut mendapat sambutan dari masyarakat sastra. Jika sambutan ini
diberikan maka jenis itu telah menduduki arus utama tradisi sastra, menjadi
‘inner circle’. Jika tidak, maka ia berada di lingkaran luar sebagai arus
pinggiran yang tidak pernah berhasil masuk ke lingkaran inti.
Dalam
bidang cerpen, tampak bahwa tradisi penuturan cerpen yang berakar dari khasanah
sastra tradisional Indonesia yang bercirikan jujur, segar, jernih, optimmis dan
sederhana tidak memasuki arus utama penulisan cerpen Indonesia modern, tidak
menjadi ‘official’. Di lain pihak, tampak bahwa perkembangan cerpen dalam
sastra Indonesia modern lebih cepat, dan lebih gampang pula menerima
kebaruan-kebaruan yang asing.
Penulis
Pembahasan Cerpen Angkatan 1960-1970-an
Dalam
simposion sastra yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi
memberikan sebuah prasarana tentang ‘Sumbangan Angkatan Terbaru Sastrawan
Indonesia kepada Perkembangan Kesusastraan Indonesia.’ Dalam prasarana itu
dicoba untuk mencari ciri-ciri yang membedakan Angkatan Terbaru dengan Angkatan
’45.Dan dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra
Universitas Indonesia tahun 1963, Nugroho Notokusumo dalam ceramahnya yang
berjudul “Soal Periodisasi dalam Sastra Indonesia”, mengemukakan bahwa memang
ada periode baru sesudah tahun 50 yang tidak lagi bisa dimasukan ke dalam periode
sebelumnya. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif
mulai menulis pada periode 1950 adalah mereka yang mempunyai sebuah tradisi
Indonesia sebagai titik-tolak. Sifat imitatif dari Belanda atau Eropa,
melainkan ke seluruh dunia. Ditambah pula oleh penghargaan yang wajar kepada
sastrawan-sastrawan.
Para
cerpenis angkatan tahun 1960an ini sebenarnya masih berkaitan dengan cerpen
angkatan sebelumnya (angkatan 50-an). Seperti halnya cerpenis Ali Akbar Navis
atau lebih dikenal dengan AA. Navis, yang menerbitkan kumpulan cerpennya
berjudul Robohnya Surau Kami pada tahun 1956. Kumpulan cerpen AA. Navis
selanjutnya berjudul Hujan Panas yang terbit pada tahun 1964 dan Bianglala yang
terbit pada tahun 1964. Pada umumnya cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai
latar belakang sosial psikologi yang luas. Banyak pula yang merupakan sindiran
akan tingkah laku dan keimanan tokoh-tokohnya. Navis banyak mengeritik
orang-orang yang melakukan syari’at agama (Islam) secara membuta dan taklid
saja, karena menurut dia Islam harus dihayati secara rasionil dan penuh rasa
perikemanusiaan. Berdasarkan buah tangannya yang nyata banyak mempersoalkan
masalah-masalah keimanan dan keagamaan Islam, pantas benar Navis disebut
sebagai seorang pengarang Islam.
Trisnojuwono
sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal. Tetapi
baru pada tahun 1955 cerpennya muncul dalam majalah sastra. Ia meninggalkan
penulisan cerpen-cerpen picisannya dan mulai menulis secara sungguh-sungguh.
Kumpulan cerpennya yang pertama Laki-Laki dan Mesiu (1957) mendapat hadiah
sastra nasional dari BMKN. Tahun 1957-1958 kumpulan itu memuatkan kisah-kisah
revolusi yang sebagian besar berdasarkan pengalaman-pengalaman sendiri. Cerpen
–cerpen Trisnojuwono menarik karena ia melukiskan manusia dalam situasinya
lengkap dengan ketakutan, nafsu berahi, kelemahan dan kekuatannya. Kumpulan
cerpennya yang kedua berjudul Angin Laut (1958) tidak begitu meyakinkan.
Kumpulan cerpennya yang berikutnya berjudul Di Medan Perang (1961) nilainya labih
baik. Terutama cerpen Di Medan Perang yang dijadikan judul kumpulan ini sangat
kuat dan mengesankan. Tak kelirulah kalau menganggap cerpen ini sebagai cerpen
terbaik yang pernah ditulis oleh Trisnojuwono. Buku kumpulan cerpen terakhirnya
ialah Kisah-Kisah Revolusi (1965).
Toha
Mohtar, pengarang yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis
cerpen-cerpen dalam majalah-majalah hiburan (anehnya tak pernah dia menulis
dalam mejalah sastra atau kebudayaan). Toha Mohtar memulai cerpennya dengan
cerpen bersambung berjudul Pulang yang dimuatkan dalam sebuah majalah umum
hiburan. Cerpen bersambung tersebut lalu di buat menjadi roman dan terbit pada
tahun 1958. Roman tersebut juga pernah di filmkan oleh Turino Djunaidi.
Subagio
Sastrowardojo, pengarang yang sebelumnya lebih dikenal sebagai penyair, mulai
menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Kedjantanan di Sumbing (1965). Bahasanya
sangat jernih dan bersih. Lukisan-lukisan kejiwaan cerita-ceritanya sangat
mengesan. Ia mempunyai keistimewaan dalam meneliti gerak-gerik batin
pelaku-pelaku ceritanya. Cerpennya Perawan Tua sangat menyaran, melukiskan
keadaan jiwa seorang gadis yang karena mau setia kepada kekasihnya yang gugur
dalam pertempuran melawan Belanda lalu menghadapi hidupnya yang sepi. Cerpen
ini plotnya mengingatkan kita kepada cerpen Armijn Pane ‘Tujuan Hidup’, tetapi
dalam pengerjaan dan pendalaman sangat jauh berbeda. Perawan Tua merupakan
salah satu prosa terindah yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia.
Motinggo
Boesje, menulis beberapa kumpulan cerpen diantaranya yaitu, Keberanian Manusia
(1962), Nasihat untuk Anakku (1963), dan Matahari Dalam Kelam (1963).
Rijono
Pratikto, cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak
tahun 1949. Antara tahun 1952-1956 Rijono adalah pengarang yang paling banyak
menulis cerpen di Indonesia. Cerpen-cerpennya yangg pertama menunjukan sangat
kuatnya pengaruh Idrus, baik dalam gaya maupun dalam imajinasinya.
Cerpen-cerpen permulaan itu kemudian diterbitkan dengan judul Api dan Beberapa
Tjerita Pendek Lain (1951). Tapi segara ia menemukan gaya dan dirinya sendiri.
Cerpen-cerpennya kemudian mendapat ciri sebagai “cerita-cerita seram.”
Cerpen-cerpen semacam itu sebagian yang terbaik dibukukan dalam Si Rangka dan
Beberapa Tjerita Pendek Lain (1958).
S.M.
Ardan, mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai serta kritik.
Cerpen-cerpennya yang berdialek dan melukiskan kehidupan masyarakat rendah
Jakarta dikumpulkan dalam Terang Bulan Terang Dikali (1955). Ardan menulis
cerpen-cerpen yang bernuansa puitis. Ardan pernah pula menyadur cerita rakyat
Jakarta yang terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara penulisan
roman, yaitu Njai Dasima (1965).
Sukanto
S.A, banyak menulis cerpen, tetapi hanya sebagian saja yang dimuat delam
kumpulannya Bulan Merah (1958). Ia kemudian lebih banyak mencurahkan minatnya
kepada penulisan cerita kanak-kanak.
Alex
A’xandre Leo, menulis cerpen yang kemudian sebagian dikumpulkan menjadi buku
berjudul Orang Jang Kembali (1956). Ia pun menulis serangkaian satira tentang
Kisah-Kisah dari Negeri Kambing.
Bokor
Hutasuhut, pertama-tama menulis cerpen-cerpen yang kemudian sebagian dibukukan
dalam kumpulannya Datang Malam (1963)
Ali
Audah lebih dikenal sebagai penterjemah sastra Arab. Tetapi ia sendiri pun
menulis cerpen, antaranya yang dikumpulkannya dalam buku Malam Bimbang (1961).
Buku-buku lainnya yang merupakan terjemahan sastra Arab modern antaranya ialah
Suasana Bergema (1959) dari pengarang Mesir Hamid G dan masih banyak lagi
sastra terjemahan lainnya.
Suwardi
Idris menulis cerpen-cerpen yang kemudian dibukukan, diantaranya yaitu Istri
Seorang Sahabat (1963) dan Diluar Dugaan (1963). Suwardi banyak mengambil
pengalaman-pengalamannya ketika ikut bersama PRRI untuk bahan-bahan cerpennya.
Djamil
Suherman, cerpen-cerpennya mempunyai keistimewaan karena melukiskan kehidupan
di pesantren. Kemudian diterbitkan berupa buku dalam kumpulan berjudul Umi
Kalsum dan Cerita-Cerita Pendek Lainnya (1963).
M.
Aiwan Tafsiri menulis cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah Kisah kebanyakan.
Sebagian di antaranya dimuat dalam kumpulannya berjudul Lukisan Dinding (1963).
Bastari
Asnin menulis cerpen-cerpen yang diantaranya pernah mendapat hadiah tahunan
majalah Sastra tahun 1961 dan 1962. Kemudian diterbitkan berupa buku dalam dua kumpulan,
yaitu Ditengah Padang (1962) dan Laki-Laki Berkuda (1963).
Pengarang
Cerpen Wanita
NH.
Dini, mulai menulis cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah Kisah dan
lain-lain. Pada cerpen-cerpen itu tidak ada lagi protes-protes yang berkisar
soal-soal kewanitaan yang dunianya terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh
wanita Dini adalah manusia-manusia yang kalau pun berontak adalah berontak
karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia. Dalam cerpen Dua
Dunia dikisahkan Dini tentang Iswanti seorang janda muda yang sakit tiphus
diceraikan suaminya karena si suami main gila dengan ibu tirinya sendiri.
Cerpen itu kemudian bersama dengan beberapa buah cerpennya yang lain dibukukan
dengan judul Dua Dunia (1956). Dalam cerpen-cerpen itu Dini menunjukan
perhatiannya yang besar terhadap kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat
terjadi di sekelilingnya. Misalnya dalam cerpennya ‘Kelahiran’ dan ‘Perempuan
Warung.’
Titi
Said adalah seorang pengarang wanita yang banyak menulis cerpen. Cerpen-cerpennya
kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul Perdjuangan dan Hati Perempuan
(1962). Sebagian besar dari cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku itu
mengisahkan perjuangan dan perasaan hati perempuan. Cerpennya Maria dan
Kalimutu merupakan cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.
Tjahjaningsih
muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya Dua Kerinduan (1963). Kebanyakan
cerpennya belum mayakinkan akan kematangannya. Yang dia berikan tidak lebih
dari hanya harapan untuk masa depan.
Sugiarti
Siswadi banyak menulis cerpen yang dimuat dalam lembaran-lembaran penerbitan
Lekra. Kumpulan cerpennya Sorga Dibumi terbit tahun 1960.
Ernisiswati
Hutomo banyak menulis cerpen yang antaranya dimuat dimajalah Sastra. Tapi belum
banyak yang dibukukan.
Enny
Sumargo banyak mengumumkan buah tangannya berupa cerpen daerah (Yogyakarta,
Semarang). Kini ia telah menerbitkan sebuah roman berjudul Sekeping Hati
Perempuan (1969).
Cerpen Angkatan 70-an
Cerpen-cerpen
Indonesia pada tahun 1970-an seperti sengaja melepaskan diri dari konvensi
cerpen sebelumnya. Ada inovasi (pembaharuan) dan pemberontakan terhadap wawasan
estetik cerpen-cerpen periode sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan adanya
kecenderungan baru, baik yang menyangkut tema cerita tokoh yang ditampilkan,
alur cerita, maupun cara penyajiannya.
Munculnya
angkatan 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam
menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru,
baik dibidang puisi, prosa maupun drama. pergeseran ini mulai kelihatan setelah
gagalnya kudeta G30/ S PKI. Dikenal beberapa tokoh pemula diantaranya yaitu,
Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini dan Umar Kayam. Cerpen karya
Danarto berjudul Godlob yang terbit pada tahun 1976 dan Adam Ma’rifat,
memperllihatkan adanya penggalian mistisisme Jawa dan tasawuf, sedangkan
kumpulan cerpen Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini mengedepankan tema-tema sufistik.
Yang sangat kuat mengungkapkan warna lokal budaya Jawa tampak pada
cerpen-cerpen Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk. Sementara karya-karya Putu
Wijaya yang cenderung menampilkan serangkaian teror mengengkat tema-tema
keterasingan manusia perkotaan.
Cerpenis-cerpenis
angkatan 70-an yang karyanya termuat di Majalah Horison dan Koran Kompas,
diantaranya yaitu, Sumartono dengan cerpennya yang berjudul ‘Ibu’ (1973).
Selanjutnya, KZ. Suryawinata berjudul ‘Bendungan’ (1970). Wildan Yatim, dengan
beberapa kumpulan cerpennya berjudul Saat Orang Berterus Terang (1974), Jalur
Membenam (1974), Di Muka Pintu (1975), dan Pertengkaran (1976). Sedangkan
karyanya yang berjudul Jalur Membenam sebelumnya pernah dimuat di Horison
(1971). Dan Purnawan Tjondronegoro berjudul Keris yang dimuat di Horison tahun
(1976).
Kesimpulan
Dalam simposion sastra
yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi memberikan sebuah
prasarana tentang ‘Sumbangan Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia kepada
Perkembangan Kesusastraan Indonesia.’ Dalam prasarana itu dicoba untuk mencari
ciri-ciri yang membedakan Angkatan Terbaru dengan Angkatan ’45. Dan dalam
seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas
Indonesia tahun 1963, Nugroho Notokusumo dalam ceramahnya yang berjudul “Soal
Periodisasi dalam Sastra Indonesia”, mengemukakan bahwa memang ada periode baru
sesudah tahun 50 yang tidak lagi bisa dimasukan ke dalam periode sebelumnya.
Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif mulai menulis
pada periode 1950 adalah mereka yang mempunyai sebuah tradisi Indonesia sebagai
titik-tolak. Sifat imitatif dari Belanda atau Eropa, melainkan ke seluruh
dunia. Ditambah pula oleh penghargaan yang wajar kepada sastrawan-sastrawan.
Para cerpenis angkatan tahun 1960an ini sebenarnya masih berkaitan dengan
cerpen angkatan sebelumnya (angkatan 50-an).
Cerpen-cerpen
Indonesia pada tahun 1970-an seperti sengaja melepaskan diri dari konvensi
cerpen sebelumnya. Ada inovasi (pembaharuan) dan pemberontakan terhadap wawasan
estetik cerpen-cerpen periode sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan adanya
kecenderungan baru, baik yang menyangkut tema cerita tokoh yang ditampilkan,
alur cerita, maupun cara penyajiannya.
Munculnya
angkatan 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam
menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru,
baik dibidang puisi, prosa maupun drama. pergeseran ini mulai kelihatan setelah
gagalnya kudeta G30/ S PKI.
Daftar
Pustaka
Yapi
Taum, Yoseph, 2011, Studi Sastra Lisan, Yogyakarta: Penerbit LAMALERA.
Rosidi,
Ajip, Ikhtiar Sejarah Sastra, Penerbit Binacipta.
Rosidi,
Ajip, 1969, Tjerita Pendek Indonesia, Jakarta:
PT. Gunung Agung.