***
Jingga
telah berkilat memenuhi cakrawala. Sang bidadari yang telah menyengat seharian
tadi mulai meredup, membulat dan melangkah mundur secara perlahan menuju langit
barat. Ia masih mengintip malu menyaksikan burung layang-layang yang juga
terbang ke barat menuju sarangnya. Membentuk formasi yang berubah-ubah. Saling
menggoda pasangannya.
Secangkir
kopi menemani senjaku menikmati kehangatan bidadari senja yang sebentar lagi
membenamkan diri. Aku mengedarkan pandangan ke arah kebun kopi yang terbentang
jauh dari beranda rumah. Jalan beraspal menurun yang menuju ke sana dipenuhi
perempuan-perempuan pemetik kopi. Perempuan-perempuan yang selalu anggun dengan
topi berbentuk kerucut lebar yang terbuat dari anyaman bambu, yang biasa mereka
sebut caping. Perempuan-perempuan yang
sebagian besar mengenakan kain jarit selutut yang menampakan betis mereka yang
kokoh. Perempuan-perempuan yang candanya memenuhi sepanjang jalan aspal setiap
kali senja turun. Mereka pulang. Pulang.
Asap
tipis dari kopi dihadapanku lambat laun semakin tipis dan tak lagi tampak. Aku
menyeruputnya sambil pandanganku tak luput memperhatikan para
perempuan-perempuan yang masih bercanda dijalan aspal itu. Satu dua dari mereka
saling menyenggolkan pinggul dan gelak tawa memecah keheningan senja.
Sayup-sayup bayangan senja mengembalikan kembali sosok sepasang insan yang
hanyut dalam kehangatan senja, yang dua belas bulan lalu mendekap keduanya. Aku
membayangkan salah satu dari perempuan disana adalah perempuan dalam bayanganku
yang kini tengah menjelma menjadi bidadari senja itu sendiri. Ia sedang
mengintaiku malu-malu. Ingin mengatakan rindu, tapi ku tahu ia tak pandai
mengatakan itu.
“Bisakah
kau bayangkan, jika kapal yang akan mengantarku pulang itu menjemputku?”
“Aku
tak pernah mampu membayangkan segala hal yang membuatku jauh darimu,” tatapnya
teduh jatuh kebarat tanpa sedikitpun menatap kearahku.
Aku
tersenyum dan melingkarkan tanganku dibahunya. Senja dua belas bulan lalu.
Bukan diberanda rumah yang menghadap ke kebun kopi. Melainkan beranda sebuah
rumah yang dibelakanganya, jauh sepuluh meter kebawah terbentang kebun tebu.
Aku tidak melihat para pekerja perempuan disana. Hanya laki-laki berkulit hitam
terbakar matahari dengan bahu dan lengan yang jangkar untuk mengangkut
tebu-tebu ke sebuah truk setiap kali musim panen tiba.
Dua
belas bulan lalu. Tatkala langit lebam dan awan-awan membawa beban berat untuk
segera dimuntahkan. Lampu-lampu langit menyala terang sesekali dan guruh
membangunkan seisi malam. Perempuan itu merapatkan diri padaku. Tetes-tetes jarum
runcing yang membuat basah itu perlahan menuruni langit. Menembus syaraf-syaraf
bumi. Meresap perlahan menembus akar-akar tebu yang esok hari siap dipanen.
Perempuan itu mengajakku masuk ke rumahnya. Kesebuah kamar miliknya yang
kasurnya meniarap dilantai.
“Aku
akan menyeduhkan secangkir kopi untukmu,” ia lantas pergi dan segera kembali
membawakanku secangkir kopi yang asapnya mengepul tipis.
Tipis.
Cukup tipis untuk menyamarkan sepasang tubuh yang telah liar bergumul diatas
kasur, yang rela spreinya dinodai oleh noda-noda berahi. Tetes-tetes hujan
diluar kian deras. Menjamah bumi, merambahi tubuhku yang menindih tubuh
perempuanku. Kehangatan yang menyalak-nyalak semakin lekat tatkala tubuh kami
melebur dalam satu wadah.
Malam
yang panjang berakhir meninggalkan sisa hujan. Bau tanah yang basah dengan
tangkas membelai rongga-rongga hidung. Embun menetes dari pucuk-pucuk daun tebu
yang menunduk. Basah meresap pada batang-batang yang bernas, yang selalu
menghasilkan gula berkualitas. Perempuanku masih terbaring disampingku. Aku
menuju jendela kamarnya yang berembun dan menyaksikan derum-derum beberapa truk
yang mulai meluncur ke kebun tebu. Musim panen.
Itu
dua belas bulan lalu. Tapi aku masih bisa merasakan nikmat kopi buatannya. Aku
masih bisa mengingat harum tubuhnya. Aku masih bisa merasakan kehangatan malam
itu. Malam panjang yang berakhir dengan panen tebu dan kapal yang menjemputku
pulang saat senja tiba. Pulang. Berada ditempatku yang sekarang.
Aku
membaca sepucuk surat dari seberang.
Anakmu telah lahir. Laki-laki. Ia mirip
sekali denganmu. Hidungnya panjang dan matanya elang. Kelak ketika ia mampu
mengucap ibu, maka ia juga akan menanyakan ayahnya. Kau tak lupa bukan? Rahimku
telah melahirkan benih yang kau tanam malam itu.
Aku
melipatnya. Hembusan nafasku menyiratkan rindu. Rindu pada perempuanku. Rindu
pada jabang yang telah berada dipangkuannya. Senja beranjak petang. Aku
menyusun rencana untuk kembali.
***
Aku
menahannya ketika kapal senja mulai menjemputnya di dermaga dua belas bulan lalu.
Mengingat ia telah menanam benih dirahimku. Aku butuh dia untuk menjadi ayah
dari anakku ketika benih itu mulai tumbuh. Tapi katanya, ia akan segera kembali
ketika ia telah sukses menjadi juragan kopi dikampung halamannya.
Kini
benih itu telah tumbuh, bahkan telah lahir menjadi seorang jabang. Aku menatap
wajahnya yang mungil. Mengingatkanku pada seorang lelaki yang tak kunjung
kembali. Telah dua belas bulan. Aku hanya bisa berkirim surat. Meyakinkan diri
bahwa lelaki itu akan kembali ke pelukanku. Aku menunggunya untuk menimang
jabang ini bersama-sama. Aku ingin ia membawaku kerumahnya. Menikmati senja
dirumahnya yang terbentang berhektar-hektar kebun kopi. Aku selalu ingin
memetik kopi bersamanya. Setiap senja ku tengok ia didermaga, berharap kapalnya
merapat dan mengatakan, “Aku menjemputmu.”
“Pulang”, cerpen “Pewara Dinamika
UNY”, November 2013
0 komentar:
Posting Komentar