Selasa, 21 Januari 2014

PULANG

            Aku menghitung mundur detik-detik kepulangannya. Aku menghitung mundur hari-hari yang kian sempit untuk ku lalui bersamanya. Aku menimang sebuah tanggal dan hari yang telah menyambutnya. Pulang.
***
            Jingga telah berkilat memenuhi cakrawala. Sang bidadari yang telah menyengat seharian tadi mulai meredup, membulat dan melangkah mundur secara perlahan menuju langit barat. Ia masih mengintip malu menyaksikan burung layang-layang yang juga terbang ke barat menuju sarangnya. Membentuk formasi yang berubah-ubah. Saling menggoda pasangannya.
            Secangkir kopi menemani senjaku menikmati kehangatan bidadari senja yang sebentar lagi membenamkan diri. Aku mengedarkan pandangan ke arah kebun kopi yang terbentang jauh dari beranda rumah. Jalan beraspal menurun yang menuju ke sana dipenuhi perempuan-perempuan pemetik kopi. Perempuan-perempuan yang selalu anggun dengan topi berbentuk kerucut lebar yang terbuat dari anyaman bambu, yang biasa mereka sebut caping. Perempuan-perempuan yang sebagian besar mengenakan kain jarit selutut yang menampakan betis mereka yang kokoh. Perempuan-perempuan yang candanya memenuhi sepanjang jalan aspal setiap kali senja turun. Mereka pulang. Pulang.
            Asap tipis dari kopi dihadapanku lambat laun semakin tipis dan tak lagi tampak. Aku menyeruputnya sambil pandanganku tak luput memperhatikan para perempuan-perempuan yang masih bercanda dijalan aspal itu. Satu dua dari mereka saling menyenggolkan pinggul dan gelak tawa memecah keheningan senja. Sayup-sayup bayangan senja mengembalikan kembali sosok sepasang insan yang hanyut dalam kehangatan senja, yang dua belas bulan lalu mendekap keduanya. Aku membayangkan salah satu dari perempuan disana adalah perempuan dalam bayanganku yang kini tengah menjelma menjadi bidadari senja itu sendiri. Ia sedang mengintaiku malu-malu. Ingin mengatakan rindu, tapi ku tahu ia tak pandai mengatakan itu.
            “Bisakah kau bayangkan, jika kapal yang akan mengantarku pulang itu menjemputku?”
            “Aku tak pernah mampu membayangkan segala hal yang membuatku jauh darimu,” tatapnya teduh jatuh kebarat tanpa sedikitpun menatap kearahku.
            Aku tersenyum dan melingkarkan tanganku dibahunya. Senja dua belas bulan lalu. Bukan diberanda rumah yang menghadap ke kebun kopi. Melainkan beranda sebuah rumah yang dibelakanganya, jauh sepuluh meter kebawah terbentang kebun tebu. Aku tidak melihat para pekerja perempuan disana. Hanya laki-laki berkulit hitam terbakar matahari dengan bahu dan lengan yang jangkar untuk mengangkut tebu-tebu ke sebuah truk setiap kali musim panen tiba.
            Dua belas bulan lalu. Tatkala langit lebam dan awan-awan membawa beban berat untuk segera dimuntahkan. Lampu-lampu langit menyala terang sesekali dan guruh membangunkan seisi malam. Perempuan itu merapatkan diri padaku. Tetes-tetes jarum runcing yang membuat basah itu perlahan menuruni langit. Menembus syaraf-syaraf bumi. Meresap perlahan menembus akar-akar tebu yang esok hari siap dipanen. Perempuan itu mengajakku masuk ke rumahnya. Kesebuah kamar miliknya yang kasurnya meniarap dilantai.
            “Aku akan menyeduhkan secangkir kopi untukmu,” ia lantas pergi dan segera kembali membawakanku secangkir kopi yang asapnya mengepul tipis.
            Tipis. Cukup tipis untuk menyamarkan sepasang tubuh yang telah liar bergumul diatas kasur, yang rela spreinya dinodai oleh noda-noda berahi. Tetes-tetes hujan diluar kian deras. Menjamah bumi, merambahi tubuhku yang menindih tubuh perempuanku. Kehangatan yang menyalak-nyalak semakin lekat tatkala tubuh kami melebur dalam satu wadah.
            Malam yang panjang berakhir meninggalkan sisa hujan. Bau tanah yang basah dengan tangkas membelai rongga-rongga hidung. Embun menetes dari pucuk-pucuk daun tebu yang menunduk. Basah meresap pada batang-batang yang bernas, yang selalu menghasilkan gula berkualitas. Perempuanku masih terbaring disampingku. Aku menuju jendela kamarnya yang berembun dan menyaksikan derum-derum beberapa truk yang mulai meluncur ke kebun tebu. Musim panen.
            Itu dua belas bulan lalu. Tapi aku masih bisa merasakan nikmat kopi buatannya. Aku masih bisa mengingat harum tubuhnya. Aku masih bisa merasakan kehangatan malam itu. Malam panjang yang berakhir dengan panen tebu dan kapal yang menjemputku pulang saat senja tiba. Pulang. Berada ditempatku yang sekarang.
            Aku membaca sepucuk surat dari seberang.
            Anakmu telah lahir. Laki-laki. Ia mirip sekali denganmu. Hidungnya panjang dan matanya elang. Kelak ketika ia mampu mengucap ibu, maka ia juga akan menanyakan ayahnya. Kau tak lupa bukan? Rahimku telah melahirkan benih yang kau tanam malam itu.
            Aku melipatnya. Hembusan nafasku menyiratkan rindu. Rindu pada perempuanku. Rindu pada jabang yang telah berada dipangkuannya. Senja beranjak petang. Aku menyusun rencana untuk kembali.
***
            Aku menahannya ketika kapal senja mulai menjemputnya di dermaga dua belas bulan lalu. Mengingat ia telah menanam benih dirahimku. Aku butuh dia untuk menjadi ayah dari anakku ketika benih itu mulai tumbuh. Tapi katanya, ia akan segera kembali ketika ia telah sukses menjadi juragan kopi dikampung halamannya.
            Kini benih itu telah tumbuh, bahkan telah lahir menjadi seorang jabang. Aku menatap wajahnya yang mungil. Mengingatkanku pada seorang lelaki yang tak kunjung kembali. Telah dua belas bulan. Aku hanya bisa berkirim surat. Meyakinkan diri bahwa lelaki itu akan kembali ke pelukanku. Aku menunggunya untuk menimang jabang ini bersama-sama. Aku ingin ia membawaku kerumahnya. Menikmati senja dirumahnya yang terbentang berhektar-hektar kebun kopi. Aku selalu ingin memetik kopi bersamanya. Setiap senja ku tengok ia didermaga, berharap kapalnya merapat dan mengatakan, “Aku menjemputmu.”

“Pulang”, cerpen “Pewara Dinamika UNY”, November 2013

0 komentar:

Posting Komentar

prev next