Minggu, 21 Juli 2013

CATATAN HUJAN



            Digenggamnya tangan seorang gadis disampingnya. Terasa dingin dan lemas. Mereka berdiri disebuah halte, ditengah hujan yang mengguyur kota senja ini. Aku tersenyum melihat kebersamaan mereka. Pemuda itu rasanya labih pantas bersanding dengan gadis disampingnya.
            Beberapa tahun silam ketika ia masih seorang gadis kecil, aku pernah memeluknya dalam kedamaian. Ia terlihat sangat ceria bermain dibawah airku yang menyejukkan. Tubuh mungilnya menari-nari, berputar-putar tanpa lelah bersamaku. Hingga ketika tiba saatnya aku untuk pulang, ia menangisi kepergianku.
            “Hujaaan. . .apa kau tak lagi menyayangiku? Aku masih ingin bersamamu,” tangis gadis itu ketika aku pergi darinya.
            Ia tak pernah membenci kehadiranku. Dan membuatku merasa nyaman ketika menari bersamanya. Gemericik airku menjadi lantunan melodi yang mampu memikat hatinya. Wajah paling sejuk yang pernah meneduhkan keberadaanku.  Bias-bias mentari pun bersembunyi, tak akan berani mengusik kebersamaanku dengan gadis kecilku sayang. Desahan angin memeluk mesra raga kami. Pelangi tersimpul bersama warnanya, menghias kemesraan ditengah gerimisku. Tapi itu dulu, sebelum gadis kecil ini beranjak menjadi seorang gadis remaja.
            Sekuntum mawar tampak merekah berwarna merah, menebar pesona aroma khas yang amat menggiurkan. Butiran embun masih tersimpul diatas mahkotanya. Aku hadir seperti biasa menyapa gadis kecilku yang kini telah beranjak remaja. Paras jelitanya berseri dibalik jendela kamarnya. Manatapku tanpa kata. Ku coba bisikan sesuatu padanya agar ia keluar dan menari bersama guyuran airku.
            “Ah. . .kenapa hujan ini tak juga reda?” desahnya lesu.
            Aku tak percaya gadis itu kini membenciku. Aku kecewa. Padahal aku hanya sekedar gerimis untuk menyapa paginya. Aku mengalah. Ku biarkan mentari kembali merekah dari balik selimut mendungnya. Aku bergegas menghapus langkah dan berniat kembali senja nanti. Dibalik celah-celah awan, kini gadis itu keluar rumah dengan senyum menawan. Kini ia mencintai mentari, melupakan ku yang pernah damai bersamanya.
            Senja yang ku nanti pun hadir. Mentari menyapa dibalik peraduanku, meminta agar aku kembali menyapa gadis pujaanku. Buritan angin mengiringi langkahku mencari keberadaannya. Bayangan senja perlahan mulai terhapus dengan kedatangan gerimisku. Gerimis kecil yang hampa, merindu hadirnya sosok yang pernah damai bersamaku. Bersama gemericik airku yang pernah menjadi melodi disetiap langkah mungilnya. Lama aku mencari, namun tak kunjung ku jumpai. Rangkaian potret gadis kecil itu kembali terekam jelas dalam bayang airku. Mengusir hampa yang tengah ku rasa, menyisir rindu dalam kalbu.
            Ku percepat langkahku menyapu debu yang ku jumpai. Aku ingin bermain bersamanya seperti dulu. Tepat di sebuah taman, mataku tertuju pada sosok yang sejak tadi ku cari. Gadisku. Ia tengah bercanda mesra bersama seorang pemuda tampan yang ada dihadapannya. Aku terdiam. Api cemburu menyulut perlahan membara dalam kalbu. Percikan-percikan benci semakin besar menindas batinku.
            Tanpa peduli hal buruk yang akan menimpa, ku ubah gerimisku menjadi hujan lebat  yang siap meluluh-lantahkan apa pun yang ku lalui. Buritan angin yang penuh kemesraan berubah menjadi badai. Seakan mendukung amarahku saat ini. Aku tak peduli, aku hanya ingin pemuda itu lenyap dari pandanganku tanpa sisa. Aku melihat keduanya lari menuju gubug kecil yang ada di ujung taman untuk berlindung. Sang pria berlari dibelakang gadisku. Aku terus menyerang pria itu dengan amarahkku. Namun, sebelum sempat keduanya sampai digubug kecil itu, tiba-tiba. . .
            “Bruuuk!” sebuah pohon roboh dan menimpa pria tampan yang berhasil menyulut api cemburuku. Aku tersenyum penuh kemenangan. Badai dan hujanku mereda, berganti gerimis kecil yang akan kembali bersapa mesra dengan gadisku.
            “Junaaa…!” teriak gadisku pilu. Ia menghampiri dan duduk disamping pria yang ku dengar bernama Juna. Ia menangis disampingnya sementara orang-orang mulai berdatangan untuk mengangkat pohon yang menimpa tubuh pria itu. Sebuah ambulance pun telah bersiap membawa Juna yang tak sadarkan diri menuju rumah sakit.
            “Hujaaaan…kamu jahat!” pekik gadisku lagi. Aku tersentak mendengar teriaknya. Ia marah padaku. Aku tak menyangka ia begitu menyayangi pria itu. Aku masih terpaku bersama gerimisku, manatap Rinai, gadisku sayang yang meninggalkanku sendiri demi pria bernama Juna itu. Aku tak lagi berguna dimatanya. Entah, ataukah ia yang terlalu ingin melupakan masa kecilnya bersamaku. Masa kecilnya yang selalu merindukan kehadiranku, manari dibawah gerimisku. Aku pun mengalah dan memutuskan beranjak dari tempatku dengan kecewa yang tak terkira. Menghentikan gerimisku, seiring petang yang mulai bertandang.
            Hari ini ku biarkan mentari berseri dengan kehangatannya. Aku tak ingin lagi kembali untuk mengulang masa lalu bersama gadisku. “Hujan, lihatlah! Rinai termenung dikamarnya. Mungkin ia tengah merindukanmu,” bisik mentari kepadaku. Aku hanya diam di balik awan tanpa mau keluar sejenak untuk memandang Rinai.
            “Kau salah mentari. Ia justru membenciku. Ia tengah merenungi keadaan kekasihnya, Juna, yang kemarin ku timpa denagn amarahku,” jawabku kecewa. Mentari hanya mendesah kecewa mendengar jawabku. Ia segera berseri kembali sambil memantau keadaan Rinai yang masih termenung di jendela kamarnya. Aku hanya bisa memendam kecewa di balik awan. Ku renungi segala kasalahanku yang telah membuatnya membenciku. Segala potret kebahagiaan hingga amarah Rinai kembali terfokus dalam memoriku. Perlahan, rasa sesalku menyelinap di balik kalbu. Tak seharusnya aku mengusik kebahagiaannya. Mengusik kebahagiaan bersama orang yang dicintainya. Kini aku gelisah, merasakan betapa bencinya Rinai kepadaku. Aku tak ingin semakin melukai hatinya dengan terus bersembunyi dibalik peraduanku.
             Malam bertandang bersama kehangatan sang purnama. Bias-bias cahaya menembus celah-celah dedaunan sambil mengintip malu pada sosok yang tengah duduk ditaman menikmati lengangnya suasana malam ini. Kuintip dari balik peraduanku, seorang gadis bermandi cahaya purnama menulis sesuatu diatas kertas yang ada ditangnnya. Aku tak ingin megusiknya. Kubiarkan gadisku menari bersama penanya dibawah pelukan rembulan. Aku cukup bahagia memandangnya dari kejauhan. Ia masih memendam amarah padaku, sehingga aku cukup mengerti untuk kembali menyentuh hatinya.
            Setelah ia selesai dengan tulisannya, ia hanya meninggalkan begitu saja. Ia lalu masuk ke dalam rumahnya. Rasa penasaranku memubuncah. Perlahan cahaya rembulan meredup, berganti dengan gemericik airku yang mengiringnya ke dalam pangkuan mimpi. Ku baca selembar kertas yang ditinggalkannya tadi. Tinta emas menyapaku, berisi kutipan sendu gadisku.
            Hujan…
Kau tak seperti dulu. Kau jahat. Kenapa kau lakukan ini pada Rinai? Rinai selalu menyayangi hujan. Tapi hujan, mengapa kau tega pisahkan Rinai dengan orang yang Rinai cintai? Hujan, kebersamaan kita bukan berarti menghalangi Rinai untuk menemukan cinta dalam hidup Rinai.
            Guyuran airku semakin deras usai membaca suratnya. Aku salah. Rinai selalu menyayangiku. Tapi kini semua ternoda dengan ke egoisanku. Aku terus memantaunya yang tak juga terpejam diatas pembaringan. Perlahan butir bening dimatanya mengalir deras. Menggelayut di ujung dagu dan menetes perlahan membasahi selimut malamnya. Aku menatap pilu dari balik jendela. Sepanjang malam, kuguyurkan airku menemani malamnya. Berharap Rinai kan tahu, betapa hujan juga menyayanginya. Ku buat gemericik airku semerdu mungkin, menjadi melodi malamnya, agar ia segera terlelap menyandarkan pilunya.
            Setahun berlalu. Namun ia masih larut dalam bayangan Juna. Cinta pertamanya yang sempat ku renggut. Ia juga selalu menulis surat untuk ku, meluapkan rasa kecewanya terhadapku. Surat itu hanya ia tinggal ditaman dan ku guyur dengan airku, hingga tinta diatasnya pudar bersama segenap sesalku. Aku tak pernah berani turun kecuali pada malam hari. Aku tak ingin mengusik damainya bersama mentari. Aku hanya hadir menjemput malamnya. Ketika ia terlelap diperaduan mimpinya, sehingga ku tak pernah memandang paras jelitanya dengan jelas.
            Malam ini kembali aku menjemput Rinai diatas pembaringannya. Ia sudah terlelap. Dan di tempat yang sama, aku kembali menemukan sepucuk surat.
            Hujan. . .
Rinai sakit. Rinai tak kuat lagi berlama-lama di bawah guyuran airmu. Rinai tak kuat lagi berlama-lama untuk menemanimu. Maka dari itu, Rinai tak ingin melihatmu setiap saat. Tapi, bukan berarti Rinai membenci hujan. Maafkan Rinai, hujan!
            Untuk kesekian kalinya aku kembali disadarkan dengan kasih sayang Rinai terhadapku. Aku pun kembali teringat ketika ia di vonis mengidap paru-paru basah yang kronis. Ia tidak akan tahan berlama-lama dibawah guyuran airku yang amat dingin ini. Tapi mengapa baru hari ini aku mengingatnya? Mengapa aku tak disadarkan sajak dulu? Bukankah ini sudah terlambat?
            Rinai gadisku sayang, Rinai yang seharusnya mendampingi hujan, kini hanya bisa memandang hujan dari balik jendela dan mimpinya. Malam ini ku coba menyelinap di bawah alam sadarnya dengan mengintai dunia mimpinya. Disana, aku melihat Rinai tengah menari dengan riangnya dibawah airku. Ia tertawa, berputar, sama seperti ketika ia masih seorang gadis kecil dahulu. Kami saling berbagi kebahagiaan, hingga munculah seorang pria berpayung hitam menghampiri kami. Ia mengusik kebersamaan kami.
            “Ayo berteduh Rinai! Ini sangat dingin, nanti kamu sakit!” ucap pria itu.
            “Nanti Juna! Aku masih ingin disini bersama hujanku,” tolak Rinai.
            “Rinai, ayo sayang. . .!” bujuk pria bernama Juna itu.
            Akhirnya Rinai pun mengalah. Rinai pergi bersama Juna dengan payung hitamnya. Seperti. . .seperti payung kematian yang diantarkannya untuk menjemput Rinai. Ku tepis pikiran buruk ku. Aku pun bergegas pergi dari mimpinya dan  kembali tak menjumpai Rinai dalam waktu yang panjang. Aku lelah menghadapinya. Bahkan aku tak pernah lagi membaca suratnya, meski surat itu selalu ada dibangku taman samping rumahnya.
            Dan senja ini, aku benar-benar merindukan Rinai. Lalu aku pun turun dan menghampiri rumahnya. Tapi kali ini ia tak memandangku dari balik jendela kamarnya. Aku terus menantinya sampai aku benar-benar bisa melihat paras jelitanya. Guyuran airku benar-benar terasa hampa. Merindu sosok yang lama tak ku jumpai. Wajah senja masih menghadirkan kabut yang menambahkan aroma dingin bersama guyuran airku. Bulir airku jatuh diatas mahkota mawar. Ia tersenyum penuh keanggunan. Mengingatkanku pada Rinai yang menyelinap dibalik kalbuku.
            Ku edarkan pandanganku menyapu sekeliling taman. Sepucuk surat diatas bangku kembali menggetarkan hatiku. Apa lagi yang dituliskan Rinai untukku?
            Hujan. . .
Aku merindukan damai bersamamu. Rinai ingin hadir dalam pelukan hujan. Tapi hujan, setiap kali Rinai meliahatmu hadir, itu hanya menyakitkan bagi Rinai. Rinai tak bisa bermain lagi bersama hujan. Tak bisa lagi memeluk hujan. Hujan, kini saatnya Rinai pergi. Rinai akan pergi ke suatu tempat, dimana Rinai tidak akan berjumpa lagi dengan hujan. Maafkan Rinai, hujan!
            Aku tertegun membaca suratnya. Tak lama kemudian, keluarlah Rinai dari dalam rumahnya dengan membawa payung hitam, seperti yang ada dalam mimpi. Ia menembus airku yang telah berubah menjadi gerimis. Ia tak membawa apa pun selain jaket hitam dan celana jeans hitam yang melekat ditubuhnya. Ku ikuti langkahnya. Dan ia pun berhenti disebuah halte. Entah, ia akan kemana. Tiba-tiba datanglah seorang pria berpakaian serba hitam. Ia berdiri disamping Rinai dan menggenggam erat tangannya. Ku rasa Rinai tak menyadari keberadaan pria itu. Tatapan Rinai terasa kosong memperhatikan gerimisku yang berjatuhan diatas aspal. Wajahnya mulai pucat kedinginan. Bibirnya menggigil. Tapi aku tak ingin menghentikan hujanku sebelum aku tahu kemana pria itu akan membawa Rinai pergi.
            Lalu sebuah bus berhenti dihadapan mereka. Dengan segera aku turun mendekat dan mengubah gerimisku menjadi hujan. Ku tatap lekat-lekat pria yang  mengikuti Rinai masuk ke dalam bus. Sosok pria yang tak asing lagi dimataku. Aku masih tak percaya semua akan berlalu begitu cepat. Pria itu, payung hitam itu, surat terakhir itu, benar-benar akan menjemput Rinai ke suatu tempat dimana dia tidak akan berjumpa hujan. Tak ada yang bisa ku perbuat. Aku terlambat untuk menjemput Rinai kembali kedalam pelukanku. Aku hanya mengurai air mataku bersamaan dengan semakin derasnya hujan yang ku guyurkan.
            “Juna, kau berhasil menjemput Rinai kembali. . .!” lirihku dalam tangis.


(Cerpen CampusMagz, Januari 2012)

0 komentar:

Posting Komentar

prev next