Digenggamnya tangan seorang gadis
disampingnya. Terasa dingin dan lemas. Mereka berdiri disebuah halte, ditengah
hujan yang mengguyur kota senja ini. Aku tersenyum melihat kebersamaan mereka.
Pemuda itu rasanya labih pantas bersanding dengan gadis disampingnya.
Beberapa tahun silam ketika ia masih
seorang gadis kecil, aku pernah memeluknya
dalam kedamaian. Ia terlihat sangat ceria bermain dibawah airku yang
menyejukkan. Tubuh mungilnya menari-nari, berputar-putar tanpa lelah bersamaku.
Hingga ketika tiba saatnya aku untuk pulang, ia menangisi kepergianku.
“Hujaaan. . .apa kau tak lagi
menyayangiku? Aku masih ingin bersamamu,” tangis gadis itu ketika aku pergi
darinya.
Ia tak pernah membenci kehadiranku.
Dan membuatku merasa nyaman ketika menari bersamanya. Gemericik airku menjadi
lantunan melodi yang mampu memikat hatinya. Wajah paling sejuk yang pernah
meneduhkan keberadaanku. Bias-bias
mentari pun bersembunyi, tak akan berani mengusik kebersamaanku dengan gadis kecilku
sayang. Desahan angin memeluk mesra raga kami. Pelangi tersimpul bersama
warnanya, menghias kemesraan ditengah gerimisku. Tapi itu dulu, sebelum gadis
kecil ini beranjak menjadi seorang gadis remaja.
Sekuntum mawar tampak merekah
berwarna merah, menebar pesona aroma khas yang amat menggiurkan. Butiran embun
masih tersimpul diatas mahkotanya. Aku hadir seperti biasa menyapa gadis
kecilku yang kini telah beranjak remaja. Paras jelitanya berseri dibalik
jendela kamarnya. Manatapku tanpa kata. Ku coba bisikan sesuatu padanya agar ia
keluar dan menari bersama guyuran airku.
“Ah. . .kenapa hujan ini tak juga
reda?” desahnya lesu.
Aku tak percaya gadis itu kini membenciku. Aku
kecewa. Padahal aku hanya sekedar gerimis untuk menyapa paginya. Aku mengalah.
Ku biarkan mentari kembali merekah dari balik selimut mendungnya. Aku bergegas
menghapus langkah dan berniat kembali senja nanti. Dibalik celah-celah awan,
kini gadis itu keluar rumah dengan senyum menawan. Kini ia mencintai mentari,
melupakan ku yang pernah damai bersamanya.
Senja yang ku nanti pun hadir.
Mentari menyapa dibalik peraduanku, meminta agar aku kembali menyapa gadis
pujaanku. Buritan angin mengiringi langkahku mencari keberadaannya. Bayangan
senja perlahan mulai terhapus dengan kedatangan gerimisku. Gerimis kecil yang
hampa, merindu hadirnya sosok yang pernah damai bersamaku. Bersama gemericik
airku yang pernah menjadi melodi disetiap langkah mungilnya. Lama aku mencari,
namun tak kunjung ku jumpai. Rangkaian potret gadis kecil itu kembali terekam
jelas dalam bayang
airku. Mengusir hampa yang tengah ku rasa, menyisir rindu dalam kalbu.
Ku
percepat langkahku menyapu debu yang ku jumpai. Aku ingin bermain bersamanya
seperti dulu. Tepat di sebuah taman, mataku tertuju pada sosok yang sejak tadi
ku cari. Gadisku. Ia tengah bercanda mesra bersama seorang pemuda tampan yang
ada dihadapannya. Aku terdiam. Api cemburu menyulut perlahan membara dalam
kalbu. Percikan-percikan benci semakin besar menindas batinku.
Tanpa
peduli hal buruk yang akan menimpa, ku ubah gerimisku menjadi hujan lebat yang siap meluluh-lantahkan apa pun yang ku
lalui. Buritan angin yang penuh kemesraan berubah menjadi badai. Seakan
mendukung amarahku saat ini. Aku tak peduli, aku hanya ingin pemuda itu lenyap
dari pandanganku tanpa sisa. Aku melihat keduanya lari menuju gubug kecil yang
ada di ujung taman untuk berlindung. Sang pria berlari dibelakang gadisku. Aku
terus menyerang pria itu dengan amarahkku. Namun, sebelum sempat keduanya
sampai digubug kecil itu, tiba-tiba. . .
“Bruuuk!” sebuah pohon roboh dan menimpa pria tampan
yang berhasil menyulut api cemburuku. Aku tersenyum penuh kemenangan. Badai dan
hujanku mereda, berganti gerimis kecil yang akan kembali bersapa mesra dengan
gadisku.
“Junaaa…!” teriak gadisku pilu. Ia
menghampiri dan duduk disamping pria yang ku dengar bernama Juna. Ia menangis
disampingnya sementara orang-orang mulai berdatangan untuk mengangkat pohon
yang menimpa tubuh pria itu. Sebuah ambulance pun telah bersiap membawa Juna
yang tak sadarkan diri menuju rumah sakit.
“Hujaaaan…kamu jahat!” pekik gadisku
lagi. Aku tersentak mendengar teriaknya. Ia marah padaku. Aku tak menyangka ia
begitu menyayangi pria itu. Aku masih terpaku bersama gerimisku, manatap Rinai,
gadisku sayang yang meninggalkanku sendiri demi pria bernama Juna itu. Aku tak
lagi berguna dimatanya. Entah, ataukah ia yang terlalu ingin melupakan masa
kecilnya bersamaku. Masa kecilnya yang selalu merindukan kehadiranku, manari
dibawah gerimisku. Aku pun mengalah dan memutuskan beranjak dari tempatku
dengan kecewa yang tak terkira. Menghentikan gerimisku, seiring petang yang
mulai bertandang.
Hari ini ku biarkan mentari berseri
dengan kehangatannya. Aku tak ingin lagi kembali untuk mengulang masa lalu
bersama gadisku. “Hujan, lihatlah! Rinai termenung dikamarnya. Mungkin ia tengah
merindukanmu,” bisik mentari kepadaku. Aku hanya diam di balik awan tanpa mau
keluar sejenak untuk memandang Rinai.
“Kau salah mentari. Ia justru
membenciku. Ia tengah merenungi keadaan kekasihnya, Juna, yang kemarin ku timpa
denagn amarahku,” jawabku kecewa. Mentari hanya mendesah kecewa mendengar
jawabku. Ia segera berseri kembali sambil memantau keadaan Rinai yang masih
termenung di jendela kamarnya. Aku hanya bisa memendam kecewa di balik awan. Ku
renungi segala kasalahanku yang telah membuatnya membenciku. Segala potret
kebahagiaan hingga amarah Rinai kembali terfokus dalam memoriku. Perlahan, rasa
sesalku menyelinap di balik kalbu. Tak seharusnya aku mengusik kebahagiaannya. Mengusik
kebahagiaan bersama orang yang dicintainya. Kini aku gelisah, merasakan betapa
bencinya Rinai kepadaku. Aku tak ingin semakin melukai hatinya dengan terus
bersembunyi dibalik peraduanku.
Malam bertandang bersama kehangatan sang
purnama. Bias-bias cahaya menembus celah-celah dedaunan sambil mengintip malu
pada sosok yang tengah duduk ditaman menikmati lengangnya suasana malam ini.
Kuintip dari balik peraduanku, seorang gadis bermandi cahaya purnama menulis
sesuatu diatas kertas yang ada ditangnnya. Aku tak ingin megusiknya. Kubiarkan
gadisku menari bersama penanya dibawah pelukan rembulan. Aku cukup bahagia
memandangnya dari kejauhan. Ia masih memendam amarah padaku, sehingga aku cukup
mengerti untuk kembali menyentuh hatinya.
Setelah ia selesai dengan tulisannya,
ia hanya meninggalkan begitu saja. Ia lalu masuk ke dalam rumahnya. Rasa
penasaranku memubuncah. Perlahan cahaya rembulan meredup, berganti dengan
gemericik airku yang mengiringnya ke dalam pangkuan mimpi. Ku baca selembar
kertas yang ditinggalkannya tadi. Tinta emas menyapaku, berisi kutipan sendu
gadisku.
Hujan…
Kau tak seperti dulu.
Kau jahat. Kenapa kau lakukan ini pada Rinai? Rinai selalu menyayangi hujan.
Tapi hujan, mengapa kau tega pisahkan Rinai dengan orang yang Rinai cintai?
Hujan, kebersamaan kita bukan berarti menghalangi Rinai untuk menemukan cinta
dalam hidup Rinai.
Guyuran airku semakin deras usai membaca
suratnya. Aku salah. Rinai selalu menyayangiku. Tapi kini semua ternoda dengan
ke egoisanku. Aku terus
memantaunya yang tak juga terpejam diatas pembaringan. Perlahan butir bening
dimatanya mengalir deras. Menggelayut di ujung dagu dan menetes perlahan
membasahi selimut malamnya. Aku menatap pilu dari balik jendela. Sepanjang
malam, kuguyurkan airku menemani malamnya. Berharap Rinai kan tahu, betapa
hujan juga menyayanginya. Ku buat gemericik airku semerdu mungkin, menjadi
melodi malamnya, agar ia segera terlelap menyandarkan pilunya.
Setahun berlalu. Namun ia masih
larut dalam bayangan Juna. Cinta pertamanya yang sempat ku renggut. Ia juga
selalu menulis surat untuk ku, meluapkan rasa kecewanya terhadapku. Surat itu
hanya ia tinggal ditaman dan ku guyur dengan airku, hingga tinta diatasnya
pudar bersama segenap sesalku. Aku tak pernah berani turun kecuali pada malam
hari. Aku tak ingin mengusik damainya bersama mentari. Aku hanya hadir
menjemput malamnya. Ketika ia terlelap diperaduan mimpinya, sehingga ku tak
pernah memandang paras jelitanya dengan jelas.
Malam ini kembali aku menjemput
Rinai diatas pembaringannya. Ia sudah terlelap. Dan di tempat yang sama, aku
kembali menemukan sepucuk surat.
Hujan.
. .
Rinai sakit. Rinai tak
kuat lagi berlama-lama di bawah guyuran airmu. Rinai tak kuat lagi berlama-lama
untuk menemanimu. Maka dari itu, Rinai tak ingin melihatmu setiap saat. Tapi,
bukan berarti Rinai membenci hujan. Maafkan Rinai, hujan!
Untuk kesekian kalinya aku kembali
disadarkan dengan kasih sayang Rinai terhadapku. Aku pun kembali teringat
ketika ia di vonis mengidap paru-paru basah yang kronis. Ia tidak akan tahan berlama-lama
dibawah guyuran airku yang amat dingin ini. Tapi mengapa baru hari ini aku
mengingatnya? Mengapa aku tak disadarkan sajak dulu? Bukankah ini sudah
terlambat?
Rinai gadisku sayang, Rinai yang
seharusnya mendampingi hujan, kini hanya bisa memandang hujan dari balik
jendela dan mimpinya. Malam ini ku coba menyelinap di bawah alam sadarnya
dengan mengintai dunia mimpinya. Disana, aku melihat Rinai tengah menari dengan
riangnya dibawah airku. Ia tertawa, berputar, sama seperti ketika ia masih
seorang gadis kecil dahulu. Kami saling berbagi kebahagiaan, hingga munculah
seorang pria berpayung hitam menghampiri kami. Ia mengusik kebersamaan kami.
“Ayo berteduh Rinai! Ini sangat
dingin, nanti kamu sakit!” ucap pria itu.
“Nanti Juna! Aku masih ingin disini
bersama hujanku,” tolak Rinai.
“Rinai, ayo sayang. . .!” bujuk pria
bernama Juna itu.
Akhirnya Rinai pun mengalah. Rinai
pergi bersama Juna dengan payung hitamnya. Seperti. . .seperti payung kematian
yang diantarkannya untuk menjemput Rinai. Ku tepis pikiran buruk ku. Aku pun
bergegas pergi dari mimpinya dan kembali
tak menjumpai Rinai dalam waktu yang panjang. Aku lelah menghadapinya. Bahkan
aku tak pernah lagi membaca suratnya, meski surat itu selalu ada dibangku taman
samping rumahnya.
Dan senja ini, aku benar-benar
merindukan Rinai. Lalu aku pun turun dan menghampiri rumahnya. Tapi kali ini ia
tak memandangku dari balik jendela kamarnya. Aku terus menantinya sampai aku benar-benar bisa melihat
paras jelitanya. Guyuran airku benar-benar terasa hampa. Merindu sosok yang lama
tak ku jumpai. Wajah senja masih menghadirkan kabut yang menambahkan aroma
dingin bersama guyuran airku. Bulir airku jatuh diatas mahkota mawar. Ia tersenyum
penuh keanggunan. Mengingatkanku pada Rinai yang menyelinap dibalik kalbuku.
Ku edarkan pandanganku menyapu
sekeliling taman. Sepucuk surat diatas bangku kembali menggetarkan hatiku. Apa
lagi yang dituliskan Rinai untukku?
Hujan.
. .
Aku merindukan damai
bersamamu. Rinai ingin hadir dalam pelukan hujan. Tapi hujan, setiap kali Rinai
meliahatmu hadir, itu hanya menyakitkan bagi Rinai. Rinai tak bisa bermain lagi
bersama hujan. Tak bisa lagi memeluk hujan. Hujan, kini saatnya Rinai pergi.
Rinai akan pergi ke suatu tempat, dimana Rinai tidak akan berjumpa lagi dengan
hujan. Maafkan Rinai, hujan!
Aku tertegun membaca suratnya. Tak lama
kemudian, keluarlah Rinai dari dalam rumahnya dengan membawa payung hitam,
seperti yang ada dalam mimpi. Ia menembus airku yang telah berubah menjadi
gerimis. Ia tak membawa apa pun selain jaket hitam dan celana jeans hitam yang
melekat ditubuhnya. Ku ikuti langkahnya. Dan ia pun berhenti disebuah halte.
Entah, ia akan kemana. Tiba-tiba datanglah seorang pria berpakaian serba hitam.
Ia berdiri disamping Rinai dan menggenggam erat tangannya. Ku rasa Rinai tak
menyadari keberadaan pria itu. Tatapan Rinai terasa kosong memperhatikan
gerimisku yang berjatuhan diatas aspal. Wajahnya mulai pucat kedinginan.
Bibirnya menggigil.
Tapi aku tak ingin menghentikan hujanku sebelum aku tahu kemana pria itu akan
membawa Rinai pergi.
Lalu sebuah bus berhenti dihadapan
mereka. Dengan segera aku turun mendekat dan mengubah gerimisku menjadi hujan.
Ku tatap lekat-lekat pria yang mengikuti
Rinai masuk ke dalam bus. Sosok pria yang tak asing lagi dimataku. Aku masih
tak percaya semua akan berlalu begitu cepat. Pria itu, payung hitam itu, surat
terakhir itu, benar-benar akan menjemput Rinai ke suatu tempat dimana dia tidak
akan berjumpa hujan. Tak ada yang bisa ku perbuat. Aku terlambat untuk
menjemput Rinai kembali kedalam pelukanku. Aku hanya mengurai air mataku
bersamaan dengan semakin derasnya hujan yang ku guyurkan.
“Juna, kau berhasil menjemput Rinai
kembali. . .!” lirihku dalam tangis.
(Cerpen CampusMagz, Januari 2012)
0 komentar:
Posting Komentar