Minggu, 21 Juli 2013

CATATAN HUJAN



            Digenggamnya tangan seorang gadis disampingnya. Terasa dingin dan lemas. Mereka berdiri disebuah halte, ditengah hujan yang mengguyur kota senja ini. Aku tersenyum melihat kebersamaan mereka. Pemuda itu rasanya labih pantas bersanding dengan gadis disampingnya.
            Beberapa tahun silam ketika ia masih seorang gadis kecil, aku pernah memeluknya dalam kedamaian. Ia terlihat sangat ceria bermain dibawah airku yang menyejukkan. Tubuh mungilnya menari-nari, berputar-putar tanpa lelah bersamaku. Hingga ketika tiba saatnya aku untuk pulang, ia menangisi kepergianku.
            “Hujaaan. . .apa kau tak lagi menyayangiku? Aku masih ingin bersamamu,” tangis gadis itu ketika aku pergi darinya.
            Ia tak pernah membenci kehadiranku. Dan membuatku merasa nyaman ketika menari bersamanya. Gemericik airku menjadi lantunan melodi yang mampu memikat hatinya. Wajah paling sejuk yang pernah meneduhkan keberadaanku.  Bias-bias mentari pun bersembunyi, tak akan berani mengusik kebersamaanku dengan gadis kecilku sayang. Desahan angin memeluk mesra raga kami. Pelangi tersimpul bersama warnanya, menghias kemesraan ditengah gerimisku. Tapi itu dulu, sebelum gadis kecil ini beranjak menjadi seorang gadis remaja.
            Sekuntum mawar tampak merekah berwarna merah, menebar pesona aroma khas yang amat menggiurkan. Butiran embun masih tersimpul diatas mahkotanya. Aku hadir seperti biasa menyapa gadis kecilku yang kini telah beranjak remaja. Paras jelitanya berseri dibalik jendela kamarnya. Manatapku tanpa kata. Ku coba bisikan sesuatu padanya agar ia keluar dan menari bersama guyuran airku.
            “Ah. . .kenapa hujan ini tak juga reda?” desahnya lesu.
            Aku tak percaya gadis itu kini membenciku. Aku kecewa. Padahal aku hanya sekedar gerimis untuk menyapa paginya. Aku mengalah. Ku biarkan mentari kembali merekah dari balik selimut mendungnya. Aku bergegas menghapus langkah dan berniat kembali senja nanti. Dibalik celah-celah awan, kini gadis itu keluar rumah dengan senyum menawan. Kini ia mencintai mentari, melupakan ku yang pernah damai bersamanya.
            Senja yang ku nanti pun hadir. Mentari menyapa dibalik peraduanku, meminta agar aku kembali menyapa gadis pujaanku. Buritan angin mengiringi langkahku mencari keberadaannya. Bayangan senja perlahan mulai terhapus dengan kedatangan gerimisku. Gerimis kecil yang hampa, merindu hadirnya sosok yang pernah damai bersamaku. Bersama gemericik airku yang pernah menjadi melodi disetiap langkah mungilnya. Lama aku mencari, namun tak kunjung ku jumpai. Rangkaian potret gadis kecil itu kembali terekam jelas dalam bayang airku. Mengusir hampa yang tengah ku rasa, menyisir rindu dalam kalbu.
            Ku percepat langkahku menyapu debu yang ku jumpai. Aku ingin bermain bersamanya seperti dulu. Tepat di sebuah taman, mataku tertuju pada sosok yang sejak tadi ku cari. Gadisku. Ia tengah bercanda mesra bersama seorang pemuda tampan yang ada dihadapannya. Aku terdiam. Api cemburu menyulut perlahan membara dalam kalbu. Percikan-percikan benci semakin besar menindas batinku.
            Tanpa peduli hal buruk yang akan menimpa, ku ubah gerimisku menjadi hujan lebat  yang siap meluluh-lantahkan apa pun yang ku lalui. Buritan angin yang penuh kemesraan berubah menjadi badai. Seakan mendukung amarahku saat ini. Aku tak peduli, aku hanya ingin pemuda itu lenyap dari pandanganku tanpa sisa. Aku melihat keduanya lari menuju gubug kecil yang ada di ujung taman untuk berlindung. Sang pria berlari dibelakang gadisku. Aku terus menyerang pria itu dengan amarahkku. Namun, sebelum sempat keduanya sampai digubug kecil itu, tiba-tiba. . .
            “Bruuuk!” sebuah pohon roboh dan menimpa pria tampan yang berhasil menyulut api cemburuku. Aku tersenyum penuh kemenangan. Badai dan hujanku mereda, berganti gerimis kecil yang akan kembali bersapa mesra dengan gadisku.
            “Junaaa…!” teriak gadisku pilu. Ia menghampiri dan duduk disamping pria yang ku dengar bernama Juna. Ia menangis disampingnya sementara orang-orang mulai berdatangan untuk mengangkat pohon yang menimpa tubuh pria itu. Sebuah ambulance pun telah bersiap membawa Juna yang tak sadarkan diri menuju rumah sakit.
            “Hujaaaan…kamu jahat!” pekik gadisku lagi. Aku tersentak mendengar teriaknya. Ia marah padaku. Aku tak menyangka ia begitu menyayangi pria itu. Aku masih terpaku bersama gerimisku, manatap Rinai, gadisku sayang yang meninggalkanku sendiri demi pria bernama Juna itu. Aku tak lagi berguna dimatanya. Entah, ataukah ia yang terlalu ingin melupakan masa kecilnya bersamaku. Masa kecilnya yang selalu merindukan kehadiranku, manari dibawah gerimisku. Aku pun mengalah dan memutuskan beranjak dari tempatku dengan kecewa yang tak terkira. Menghentikan gerimisku, seiring petang yang mulai bertandang.
            Hari ini ku biarkan mentari berseri dengan kehangatannya. Aku tak ingin lagi kembali untuk mengulang masa lalu bersama gadisku. “Hujan, lihatlah! Rinai termenung dikamarnya. Mungkin ia tengah merindukanmu,” bisik mentari kepadaku. Aku hanya diam di balik awan tanpa mau keluar sejenak untuk memandang Rinai.
            “Kau salah mentari. Ia justru membenciku. Ia tengah merenungi keadaan kekasihnya, Juna, yang kemarin ku timpa denagn amarahku,” jawabku kecewa. Mentari hanya mendesah kecewa mendengar jawabku. Ia segera berseri kembali sambil memantau keadaan Rinai yang masih termenung di jendela kamarnya. Aku hanya bisa memendam kecewa di balik awan. Ku renungi segala kasalahanku yang telah membuatnya membenciku. Segala potret kebahagiaan hingga amarah Rinai kembali terfokus dalam memoriku. Perlahan, rasa sesalku menyelinap di balik kalbu. Tak seharusnya aku mengusik kebahagiaannya. Mengusik kebahagiaan bersama orang yang dicintainya. Kini aku gelisah, merasakan betapa bencinya Rinai kepadaku. Aku tak ingin semakin melukai hatinya dengan terus bersembunyi dibalik peraduanku.
             Malam bertandang bersama kehangatan sang purnama. Bias-bias cahaya menembus celah-celah dedaunan sambil mengintip malu pada sosok yang tengah duduk ditaman menikmati lengangnya suasana malam ini. Kuintip dari balik peraduanku, seorang gadis bermandi cahaya purnama menulis sesuatu diatas kertas yang ada ditangnnya. Aku tak ingin megusiknya. Kubiarkan gadisku menari bersama penanya dibawah pelukan rembulan. Aku cukup bahagia memandangnya dari kejauhan. Ia masih memendam amarah padaku, sehingga aku cukup mengerti untuk kembali menyentuh hatinya.
            Setelah ia selesai dengan tulisannya, ia hanya meninggalkan begitu saja. Ia lalu masuk ke dalam rumahnya. Rasa penasaranku memubuncah. Perlahan cahaya rembulan meredup, berganti dengan gemericik airku yang mengiringnya ke dalam pangkuan mimpi. Ku baca selembar kertas yang ditinggalkannya tadi. Tinta emas menyapaku, berisi kutipan sendu gadisku.
            Hujan…
Kau tak seperti dulu. Kau jahat. Kenapa kau lakukan ini pada Rinai? Rinai selalu menyayangi hujan. Tapi hujan, mengapa kau tega pisahkan Rinai dengan orang yang Rinai cintai? Hujan, kebersamaan kita bukan berarti menghalangi Rinai untuk menemukan cinta dalam hidup Rinai.
            Guyuran airku semakin deras usai membaca suratnya. Aku salah. Rinai selalu menyayangiku. Tapi kini semua ternoda dengan ke egoisanku. Aku terus memantaunya yang tak juga terpejam diatas pembaringan. Perlahan butir bening dimatanya mengalir deras. Menggelayut di ujung dagu dan menetes perlahan membasahi selimut malamnya. Aku menatap pilu dari balik jendela. Sepanjang malam, kuguyurkan airku menemani malamnya. Berharap Rinai kan tahu, betapa hujan juga menyayanginya. Ku buat gemericik airku semerdu mungkin, menjadi melodi malamnya, agar ia segera terlelap menyandarkan pilunya.
            Setahun berlalu. Namun ia masih larut dalam bayangan Juna. Cinta pertamanya yang sempat ku renggut. Ia juga selalu menulis surat untuk ku, meluapkan rasa kecewanya terhadapku. Surat itu hanya ia tinggal ditaman dan ku guyur dengan airku, hingga tinta diatasnya pudar bersama segenap sesalku. Aku tak pernah berani turun kecuali pada malam hari. Aku tak ingin mengusik damainya bersama mentari. Aku hanya hadir menjemput malamnya. Ketika ia terlelap diperaduan mimpinya, sehingga ku tak pernah memandang paras jelitanya dengan jelas.
            Malam ini kembali aku menjemput Rinai diatas pembaringannya. Ia sudah terlelap. Dan di tempat yang sama, aku kembali menemukan sepucuk surat.
            Hujan. . .
Rinai sakit. Rinai tak kuat lagi berlama-lama di bawah guyuran airmu. Rinai tak kuat lagi berlama-lama untuk menemanimu. Maka dari itu, Rinai tak ingin melihatmu setiap saat. Tapi, bukan berarti Rinai membenci hujan. Maafkan Rinai, hujan!
            Untuk kesekian kalinya aku kembali disadarkan dengan kasih sayang Rinai terhadapku. Aku pun kembali teringat ketika ia di vonis mengidap paru-paru basah yang kronis. Ia tidak akan tahan berlama-lama dibawah guyuran airku yang amat dingin ini. Tapi mengapa baru hari ini aku mengingatnya? Mengapa aku tak disadarkan sajak dulu? Bukankah ini sudah terlambat?
            Rinai gadisku sayang, Rinai yang seharusnya mendampingi hujan, kini hanya bisa memandang hujan dari balik jendela dan mimpinya. Malam ini ku coba menyelinap di bawah alam sadarnya dengan mengintai dunia mimpinya. Disana, aku melihat Rinai tengah menari dengan riangnya dibawah airku. Ia tertawa, berputar, sama seperti ketika ia masih seorang gadis kecil dahulu. Kami saling berbagi kebahagiaan, hingga munculah seorang pria berpayung hitam menghampiri kami. Ia mengusik kebersamaan kami.
            “Ayo berteduh Rinai! Ini sangat dingin, nanti kamu sakit!” ucap pria itu.
            “Nanti Juna! Aku masih ingin disini bersama hujanku,” tolak Rinai.
            “Rinai, ayo sayang. . .!” bujuk pria bernama Juna itu.
            Akhirnya Rinai pun mengalah. Rinai pergi bersama Juna dengan payung hitamnya. Seperti. . .seperti payung kematian yang diantarkannya untuk menjemput Rinai. Ku tepis pikiran buruk ku. Aku pun bergegas pergi dari mimpinya dan  kembali tak menjumpai Rinai dalam waktu yang panjang. Aku lelah menghadapinya. Bahkan aku tak pernah lagi membaca suratnya, meski surat itu selalu ada dibangku taman samping rumahnya.
            Dan senja ini, aku benar-benar merindukan Rinai. Lalu aku pun turun dan menghampiri rumahnya. Tapi kali ini ia tak memandangku dari balik jendela kamarnya. Aku terus menantinya sampai aku benar-benar bisa melihat paras jelitanya. Guyuran airku benar-benar terasa hampa. Merindu sosok yang lama tak ku jumpai. Wajah senja masih menghadirkan kabut yang menambahkan aroma dingin bersama guyuran airku. Bulir airku jatuh diatas mahkota mawar. Ia tersenyum penuh keanggunan. Mengingatkanku pada Rinai yang menyelinap dibalik kalbuku.
            Ku edarkan pandanganku menyapu sekeliling taman. Sepucuk surat diatas bangku kembali menggetarkan hatiku. Apa lagi yang dituliskan Rinai untukku?
            Hujan. . .
Aku merindukan damai bersamamu. Rinai ingin hadir dalam pelukan hujan. Tapi hujan, setiap kali Rinai meliahatmu hadir, itu hanya menyakitkan bagi Rinai. Rinai tak bisa bermain lagi bersama hujan. Tak bisa lagi memeluk hujan. Hujan, kini saatnya Rinai pergi. Rinai akan pergi ke suatu tempat, dimana Rinai tidak akan berjumpa lagi dengan hujan. Maafkan Rinai, hujan!
            Aku tertegun membaca suratnya. Tak lama kemudian, keluarlah Rinai dari dalam rumahnya dengan membawa payung hitam, seperti yang ada dalam mimpi. Ia menembus airku yang telah berubah menjadi gerimis. Ia tak membawa apa pun selain jaket hitam dan celana jeans hitam yang melekat ditubuhnya. Ku ikuti langkahnya. Dan ia pun berhenti disebuah halte. Entah, ia akan kemana. Tiba-tiba datanglah seorang pria berpakaian serba hitam. Ia berdiri disamping Rinai dan menggenggam erat tangannya. Ku rasa Rinai tak menyadari keberadaan pria itu. Tatapan Rinai terasa kosong memperhatikan gerimisku yang berjatuhan diatas aspal. Wajahnya mulai pucat kedinginan. Bibirnya menggigil. Tapi aku tak ingin menghentikan hujanku sebelum aku tahu kemana pria itu akan membawa Rinai pergi.
            Lalu sebuah bus berhenti dihadapan mereka. Dengan segera aku turun mendekat dan mengubah gerimisku menjadi hujan. Ku tatap lekat-lekat pria yang  mengikuti Rinai masuk ke dalam bus. Sosok pria yang tak asing lagi dimataku. Aku masih tak percaya semua akan berlalu begitu cepat. Pria itu, payung hitam itu, surat terakhir itu, benar-benar akan menjemput Rinai ke suatu tempat dimana dia tidak akan berjumpa hujan. Tak ada yang bisa ku perbuat. Aku terlambat untuk menjemput Rinai kembali kedalam pelukanku. Aku hanya mengurai air mataku bersamaan dengan semakin derasnya hujan yang ku guyurkan.
            “Juna, kau berhasil menjemput Rinai kembali. . .!” lirihku dalam tangis.


(Cerpen CampusMagz, Januari 2012)

Rabu, 10 Juli 2013

WS Rendra


GADIS DALAM PUISI


            Bahasa tubuhnya adalah puisi. Rambutnya, matanya, senyumnya, gemulai tubuhnya, adalah puisi. Kulukiskan semuanya penuh pesona. Malam di bawah naungan rembulan, aku mengurai pesonanya di atas selembar kertas. Dengan pena bertinta emas, kugoreskan sajak indah untuk gadisku dalam puisi. Kuberkeluh-kesah bersama sajak-sajak malam. Berbisik rindu penuh kemesraan. Semilir angin berdesau menelisik sela telinga. Bermain, mengirimkan sajak-sajak agar sampai kepada gadisku.
            Terus kutuliskan pesonanya tanpa terlewatkan. Menerawang jauh pikirku menuju sosok gadis dalam puisi. Aku tak urung dengan perasaanku. Bagiku inilah keindahan yang sempurna. Yang tertuang dalam sebuah sajak sang pujangga. Lukisan gadis dalam puisi, yang membuat malam seperti tertawa saat aku menuliskan tentang gadis itu. Namun malam masih melindungiku dalam nuansa semilir angin mesra yang di kirimnya padaku.

Senin, 08 Juli 2013

EKSEKUSI


            Dua hari lalu aku masih menyaksikan lelaki paruh baya itu mengayuh sepedanya menuju tempatnya bekerja. Ia seorang buruh proyek yang bekerja dibawah seorang kontraktor yang saat ini sedang menyelesaikan sebuah proyek gedung pencakar langit, yang nantinya akan dijadikan sebagai apartement. Sejauh pengamatanku, apartement yang terletak diseberang tempat kerjaku itu sudah setengah jadi. Lantai satu dan dua sudah mulai ditempati oleh orang-orang pendatang.
            “Kau harus menghadiri eksekusi seorang buruh proyek itu! Kita tidak boleh melewatkan satu pun dari berita ini! Kau bisa menjadikannya head line news untuk edisi yang akan terbit lusa,” seorang pimpinan redaksi memerintahku terjun ke lapangan untuk mengupas lebih jauh lagi mengenai eksekusi yang dijatuhkan pada seorang buruh proyek itu.

Kamis, 04 Juli 2013

PERKEMBANGAN CERITA PENDEK 1960-1970-AN



PERKEMBANGAN CERITA PENDEK INDONESIA ANGKATAN 1960-1970-AN







Oleh: Weda Sasmita Atmanegara
NIM: 12210141018
Mata Kuliah : Sejarah Sastra
Dosen Pengampu: Drs. Maman Suryaman, M. Pd
Program Studi: Bahasa dan Sastra Indonesia
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Sejarah Sastra







FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2013

Sekapur Sirih

            Cerita pendek (cerpen) Indonesia merupakan sebuah genre sastra modern yang mulai berkembang pada dekade tahun 1930-an. Sangat menarik untuk dicatat bahwa dua orang perintis penulisan cerpen Indonesia, yakni Muhammad Kasim dan Suman Hs menulis cerpen yang jujur, segar, jernih dan sederhana. Efek tertawa gembira adalah tujuan yang hendak mereka capai dengan cerpen-cerpennya. Mereka banyak mengambil tokoh-tokoh rakyat biasa yang bodoh, yang dijadikan bulan-bulanan untuk berseloroh. Untuk lelucon-leluconnya itu, M. Kasim dan Suman Hs mencari segi-segi humor dalam kehidupan sehari-hari. Mereka sebenarnya menimba dan melanjutkan cerita-cerita lisan seperti Si Kabayan atau Demang Kedangkrang.
            Dalam perkembangan selanjutnya, sistem konvensi sastra yang sudah dirintis jalannya oleh M. Kasim dan Suman Hs ini tidak dilanjutkan oleh pengarang-pengarang lainnya. Dalam sejarah cerpen Indonesia hanya sekali itu timbul jenis cerita yang demikian: cerita yang penuh humor, optimis dalam kehidupan, dan yang mengangkat dan melanjutkan tradisi cerita rakyat tradisional.
            Dengan lenyapnya pengaruh cerita-cerita M. Kasim dan Suman Hs, maka lepaslah pula mata rantai penghubung dengan cerita rakyat tradisional nusantara. sebaliknya mulailah tradisi penulisan cerpen menurut konsep Barat, yang berorientasi pada masalah-masalah sosial maupun kedalaman ide pemikiran. Ini berarti, model cerita ‘asli’ itu tidak memasuki arus utama cerpen Indonesia, tidak menjadi ‘official’.
            Disamping itu, konvensi-konvensi sastra tidak pernah kaku dan statis melainkan selalu dalam proses perubahan dan pengembangan. Perubahan dapat terjadi secara internal, karena keinginan mencari pengucapan baru, menciptakan kejutan baru; tetapi juga yang bersifat eksternal, yakni disebabkan oleh perubahan sosial, intelektual, dan perubahan budaya lainnya (Wellek, 1989: 361). Perubahan-perubahan ini sesuai dengan hakikat pelembagaan sebuah genre sastra, yang berproses secara lamban untuk menjadi genre yang ‘official’ (Guillen, 1971: 125). Maksudnya, genre tersebut mendapat sambutan dari masyarakat sastra. Jika sambutan ini diberikan maka jenis itu telah menduduki arus utama tradisi sastra, menjadi ‘inner circle’. Jika tidak, maka ia berada di lingkaran luar sebagai arus pinggiran yang tidak pernah berhasil masuk ke lingkaran inti.
            Dalam bidang cerpen, tampak bahwa tradisi penuturan cerpen yang berakar dari khasanah sastra tradisional Indonesia yang bercirikan jujur, segar, jernih, optimmis dan sederhana tidak memasuki arus utama penulisan cerpen Indonesia modern, tidak menjadi ‘official’. Di lain pihak, tampak bahwa perkembangan cerpen dalam sastra Indonesia modern lebih cepat, dan lebih gampang pula menerima kebaruan-kebaruan yang asing.







Penulis


















Pembahasan Cerpen Angkatan 1960-1970-an

            Dalam simposion sastra yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi memberikan sebuah prasarana tentang ‘Sumbangan Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia kepada Perkembangan Kesusastraan Indonesia.’ Dalam prasarana itu dicoba untuk mencari ciri-ciri yang membedakan Angkatan Terbaru dengan Angkatan ’45.Dan dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1963, Nugroho Notokusumo dalam ceramahnya yang berjudul “Soal Periodisasi dalam Sastra Indonesia”, mengemukakan bahwa memang ada periode baru sesudah tahun 50 yang tidak lagi bisa dimasukan ke dalam periode sebelumnya. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950 adalah mereka yang mempunyai sebuah tradisi Indonesia sebagai titik-tolak. Sifat imitatif dari Belanda atau Eropa, melainkan ke seluruh dunia. Ditambah pula oleh penghargaan yang wajar kepada sastrawan-sastrawan.
            Para cerpenis angkatan tahun 1960an ini sebenarnya masih berkaitan dengan cerpen angkatan sebelumnya (angkatan 50-an). Seperti halnya cerpenis Ali Akbar Navis atau lebih dikenal dengan AA. Navis, yang menerbitkan kumpulan cerpennya berjudul Robohnya Surau Kami pada tahun 1956. Kumpulan cerpen AA. Navis selanjutnya berjudul Hujan Panas yang terbit pada tahun 1964 dan Bianglala yang terbit pada tahun 1964. Pada umumnya cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai latar belakang sosial psikologi yang luas. Banyak pula yang merupakan sindiran akan tingkah laku dan keimanan tokoh-tokohnya. Navis banyak mengeritik orang-orang yang melakukan syari’at agama (Islam) secara membuta dan taklid saja, karena menurut dia Islam harus dihayati secara rasionil dan penuh rasa perikemanusiaan. Berdasarkan buah tangannya yang nyata banyak mempersoalkan masalah-masalah keimanan dan keagamaan Islam, pantas benar Navis disebut sebagai seorang pengarang Islam.
            Trisnojuwono sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal. Tetapi baru pada tahun 1955 cerpennya muncul dalam majalah sastra. Ia meninggalkan penulisan cerpen-cerpen picisannya dan mulai menulis secara sungguh-sungguh. Kumpulan cerpennya yang pertama Laki-Laki dan Mesiu (1957) mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN. Tahun 1957-1958 kumpulan itu memuatkan kisah-kisah revolusi yang sebagian besar berdasarkan pengalaman-pengalaman sendiri. Cerpen –cerpen Trisnojuwono menarik karena ia melukiskan manusia dalam situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu berahi, kelemahan dan kekuatannya. Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Angin Laut (1958) tidak begitu meyakinkan. Kumpulan cerpennya yang berikutnya berjudul Di Medan Perang (1961) nilainya labih baik. Terutama cerpen Di Medan Perang yang dijadikan judul kumpulan ini sangat kuat dan mengesankan. Tak kelirulah kalau menganggap cerpen ini sebagai cerpen terbaik yang pernah ditulis oleh Trisnojuwono. Buku kumpulan cerpen terakhirnya ialah Kisah-Kisah Revolusi (1965).
            Toha Mohtar, pengarang yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis cerpen-cerpen dalam majalah-majalah hiburan (anehnya tak pernah dia menulis dalam mejalah sastra atau kebudayaan). Toha Mohtar memulai cerpennya dengan cerpen bersambung berjudul Pulang yang dimuatkan dalam sebuah majalah umum hiburan. Cerpen bersambung tersebut lalu di buat menjadi roman dan terbit pada tahun 1958. Roman tersebut juga pernah di filmkan oleh Turino Djunaidi.
            Subagio Sastrowardojo, pengarang yang sebelumnya lebih dikenal sebagai penyair, mulai menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Kedjantanan di Sumbing (1965). Bahasanya sangat jernih dan bersih. Lukisan-lukisan kejiwaan cerita-ceritanya sangat mengesan. Ia mempunyai keistimewaan dalam meneliti gerak-gerik batin pelaku-pelaku ceritanya. Cerpennya Perawan Tua sangat menyaran, melukiskan keadaan jiwa seorang gadis yang karena mau setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda lalu menghadapi hidupnya yang sepi. Cerpen ini plotnya mengingatkan kita kepada cerpen Armijn Pane ‘Tujuan Hidup’, tetapi dalam pengerjaan dan pendalaman sangat jauh berbeda. Perawan Tua merupakan salah satu prosa terindah yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia.
            Motinggo Boesje, menulis beberapa kumpulan cerpen diantaranya yaitu, Keberanian Manusia (1962), Nasihat untuk Anakku (1963), dan Matahari Dalam Kelam (1963).
            Rijono Pratikto, cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak tahun 1949. Antara tahun 1952-1956 Rijono adalah pengarang yang paling banyak menulis cerpen di Indonesia. Cerpen-cerpennya yangg pertama menunjukan sangat kuatnya pengaruh Idrus, baik dalam gaya maupun dalam imajinasinya. Cerpen-cerpen permulaan itu kemudian diterbitkan dengan judul Api dan Beberapa Tjerita Pendek Lain (1951). Tapi segara ia menemukan gaya dan dirinya sendiri. Cerpen-cerpennya kemudian mendapat ciri sebagai “cerita-cerita seram.” Cerpen-cerpen semacam itu sebagian yang terbaik dibukukan dalam Si Rangka dan Beberapa Tjerita Pendek Lain (1958).
            S.M. Ardan, mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai serta kritik. Cerpen-cerpennya yang berdialek dan melukiskan kehidupan masyarakat rendah Jakarta dikumpulkan dalam Terang Bulan Terang Dikali (1955). Ardan menulis cerpen-cerpen yang bernuansa puitis. Ardan pernah pula menyadur cerita rakyat Jakarta yang terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara penulisan roman, yaitu Njai Dasima (1965).
            Sukanto S.A, banyak menulis cerpen, tetapi hanya sebagian saja yang dimuat delam kumpulannya Bulan Merah (1958). Ia kemudian lebih banyak mencurahkan minatnya kepada penulisan cerita kanak-kanak.
            Alex A’xandre Leo, menulis cerpen yang kemudian sebagian dikumpulkan menjadi buku berjudul Orang Jang Kembali (1956). Ia pun menulis serangkaian satira tentang Kisah-Kisah dari Negeri Kambing.
            Bokor Hutasuhut, pertama-tama menulis cerpen-cerpen yang kemudian sebagian dibukukan dalam kumpulannya Datang Malam (1963)
            Ali Audah lebih dikenal sebagai penterjemah sastra Arab. Tetapi ia sendiri pun menulis cerpen, antaranya yang dikumpulkannya dalam buku Malam Bimbang (1961). Buku-buku lainnya yang merupakan terjemahan sastra Arab modern antaranya ialah Suasana Bergema (1959) dari pengarang Mesir Hamid G dan masih banyak lagi sastra terjemahan lainnya.
            Suwardi Idris menulis cerpen-cerpen yang kemudian dibukukan, diantaranya yaitu Istri Seorang Sahabat (1963) dan Diluar Dugaan (1963). Suwardi banyak mengambil pengalaman-pengalamannya ketika ikut bersama PRRI untuk bahan-bahan cerpennya.
            Djamil Suherman, cerpen-cerpennya mempunyai keistimewaan karena melukiskan kehidupan di pesantren. Kemudian diterbitkan berupa buku dalam kumpulan berjudul Umi Kalsum dan Cerita-Cerita Pendek Lainnya (1963).
            M. Aiwan Tafsiri menulis cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah Kisah kebanyakan. Sebagian di antaranya dimuat dalam kumpulannya berjudul Lukisan Dinding (1963).
Bastari Asnin menulis cerpen-cerpen yang diantaranya pernah mendapat hadiah tahunan majalah Sastra tahun 1961 dan 1962. Kemudian diterbitkan berupa buku dalam dua kumpulan, yaitu Ditengah Padang (1962) dan Laki-Laki Berkuda (1963).

Pengarang Cerpen Wanita
            NH. Dini, mulai menulis cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah Kisah dan lain-lain. Pada cerpen-cerpen itu tidak ada lagi protes-protes yang berkisar soal-soal kewanitaan yang dunianya terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh wanita Dini adalah manusia-manusia yang kalau pun berontak adalah berontak karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia. Dalam cerpen Dua Dunia dikisahkan Dini tentang Iswanti seorang janda muda yang sakit tiphus diceraikan suaminya karena si suami main gila dengan ibu tirinya sendiri. Cerpen itu kemudian bersama dengan beberapa buah cerpennya yang lain dibukukan dengan judul Dua Dunia (1956). Dalam cerpen-cerpen itu Dini menunjukan perhatiannya yang besar terhadap kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat terjadi di sekelilingnya. Misalnya dalam cerpennya ‘Kelahiran’ dan ‘Perempuan Warung.’
            Titi Said adalah seorang pengarang wanita yang banyak menulis cerpen. Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul Perdjuangan dan Hati Perempuan (1962). Sebagian besar dari cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku itu mengisahkan perjuangan dan perasaan hati perempuan. Cerpennya Maria dan Kalimutu merupakan cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.
            Tjahjaningsih muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya Dua Kerinduan (1963). Kebanyakan cerpennya belum mayakinkan akan kematangannya. Yang dia berikan tidak lebih dari hanya harapan untuk masa depan.
            Sugiarti Siswadi banyak menulis cerpen yang dimuat dalam lembaran-lembaran penerbitan Lekra. Kumpulan cerpennya Sorga Dibumi terbit tahun 1960.
            Ernisiswati Hutomo banyak menulis cerpen yang antaranya dimuat dimajalah Sastra. Tapi belum banyak yang dibukukan.
            Enny Sumargo banyak mengumumkan buah tangannya berupa cerpen daerah (Yogyakarta, Semarang). Kini ia telah menerbitkan sebuah roman berjudul Sekeping Hati Perempuan (1969).

Cerpen Angkatan 70-an
            Cerpen-cerpen Indonesia pada tahun 1970-an seperti sengaja melepaskan diri dari konvensi cerpen sebelumnya. Ada inovasi (pembaharuan) dan pemberontakan terhadap wawasan estetik cerpen-cerpen periode sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan adanya kecenderungan baru, baik yang menyangkut tema cerita tokoh yang ditampilkan, alur cerita, maupun cara penyajiannya.
            Munculnya angkatan 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru, baik dibidang puisi, prosa maupun drama. pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G30/ S PKI. Dikenal beberapa tokoh pemula diantaranya yaitu, Danarto, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini dan Umar Kayam. Cerpen karya Danarto berjudul Godlob yang terbit pada tahun 1976 dan Adam Ma’rifat, memperllihatkan adanya penggalian mistisisme Jawa dan tasawuf, sedangkan kumpulan cerpen Kuntowijoyo dan Fudoli Zaini mengedepankan tema-tema sufistik. Yang sangat kuat mengungkapkan warna lokal budaya Jawa tampak pada cerpen-cerpen Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk. Sementara karya-karya Putu Wijaya yang cenderung menampilkan serangkaian teror mengengkat tema-tema keterasingan manusia perkotaan.
            Cerpenis-cerpenis angkatan 70-an yang karyanya termuat di Majalah Horison dan Koran Kompas, diantaranya yaitu, Sumartono dengan cerpennya yang berjudul ‘Ibu’ (1973). Selanjutnya, KZ. Suryawinata berjudul ‘Bendungan’ (1970). Wildan Yatim, dengan beberapa kumpulan cerpennya berjudul Saat Orang Berterus Terang (1974), Jalur Membenam (1974), Di Muka Pintu (1975), dan Pertengkaran (1976). Sedangkan karyanya yang berjudul Jalur Membenam sebelumnya pernah dimuat di Horison (1971). Dan Purnawan Tjondronegoro berjudul Keris yang dimuat di Horison tahun (1976).






Kesimpulan
Dalam simposion sastra yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960, Ajip Rosidi memberikan sebuah prasarana tentang ‘Sumbangan Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia kepada Perkembangan Kesusastraan Indonesia.’ Dalam prasarana itu dicoba untuk mencari ciri-ciri yang membedakan Angkatan Terbaru dengan Angkatan ’45. Dan dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1963, Nugroho Notokusumo dalam ceramahnya yang berjudul “Soal Periodisasi dalam Sastra Indonesia”, mengemukakan bahwa memang ada periode baru sesudah tahun 50 yang tidak lagi bisa dimasukan ke dalam periode sebelumnya. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950 adalah mereka yang mempunyai sebuah tradisi Indonesia sebagai titik-tolak. Sifat imitatif dari Belanda atau Eropa, melainkan ke seluruh dunia. Ditambah pula oleh penghargaan yang wajar kepada sastrawan-sastrawan. Para cerpenis angkatan tahun 1960an ini sebenarnya masih berkaitan dengan cerpen angkatan sebelumnya (angkatan 50-an).
            Cerpen-cerpen Indonesia pada tahun 1970-an seperti sengaja melepaskan diri dari konvensi cerpen sebelumnya. Ada inovasi (pembaharuan) dan pemberontakan terhadap wawasan estetik cerpen-cerpen periode sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan adanya kecenderungan baru, baik yang menyangkut tema cerita tokoh yang ditampilkan, alur cerita, maupun cara penyajiannya.
            Munculnya angkatan 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru, baik dibidang puisi, prosa maupun drama. pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G30/ S PKI.








Daftar Pustaka
Yapi Taum, Yoseph, 2011, Studi Sastra Lisan, Yogyakarta: Penerbit LAMALERA.
Rosidi, Ajip, Ikhtiar Sejarah Sastra, Penerbit Binacipta.
Rosidi, Ajip, 1969, Tjerita Pendek Indonesia, Jakarta:  PT. Gunung Agung.


prev next