Selasa, 23 September 2014

PEREMPUAN DI NEGERI FIRAUN DALAM NOVEL PEREMPUAN DI TITIK NOL, KARYA NAWAL EL SAADAWI



            Berbagai masyarakat Arab, seperti juga negeri kita, berada dalam masa transisi, dan juga dalam proses modernisasi. Masalah nilai-nilai tradisional masih merupakan permasalahan yang belum terselesaikan, dan malahan di berbagai masyarakat pada taraf ini terasa seakan-akan amat sulit terselesaikan.
            Salah sebuah masyarakat tradisional yang menjadi bahan perdebatan dan malahan konflik ialah masalah kedudukan dan hak-hak wanita, baik di tengah masyarakat, maupun dalam hubungan langsung antara lelaki dan perempuan secara sosial juga pribadi, baik di dalam mupun di luar perkawinan. Kita dapat mengingat, bahwa perjuangan perempuan Indonesia untuk mendapat kedudukan yang lebih seimbang di dalam lembaga perkawinan telah memakan waktu puluhan tahun, dan baru dapat membawa perempuan Indonesia ke Undang-Undang Perkawinan yang beberapa tahun lampau ini telah diundangkan.

Menyulut Sumbu Kreativitas Mahasiswa Sastra Indonesia




PROSES kreatif penciptaan karya sastra, menulis itu, pada dasarnya merupakan urusan yang soliter.* Mengutip kalimat Prof. Dr. Suminto A. Sayuti di atas, dapat diterjemahkan dengan sederhana, bahwa proses kreatif dalam menulis harus timbul atas kemauan dan kesadaran setiap pribadi. Menulis merupakan nafas utama bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa Sastra Indonesia. Sastra yang identik dengan hasil karya sastra sering kali menjadi acuan keberhasilan dalam beberapa mata kuliah. Tidak sia-sia memang, ketika para dosen pengampu mata kuliah tertentu mendorong mahasiswanya untuk menghasilkan sebuah karya sastra untuk menjadi acuan keberhasilan dalam mata kuliah tersebut. Barangkali dengan cara itu pula dapat menyulut kembali sumbu kreativitas mahasiswa Sastra Indonesia yang sebagian besar masih termangu-mangu atau bahkan tidak tahu sama sekali cara menulis karya sastra. Tetapi akan sangat disayangkan apabila tugas tersebut dilaksanakan hanya sekedar menggugurkan kewajiban kita sebagai mahasiswa. Tidak ada sedikit pun evaluasi yang terjadi dalam diri kita, dari niat dosen yang berharap dapat menyulut sumbu kreativitas di kalangan mahasiswa Sastra Indonesia.

PERJALANAN BATIN MEMAHAMI: DIRI SENDIRI, CINTA, DAN NEGARA


       Novel Maya karya Ayu Utami merupakan bagian dari Seri Bilangan Fu, setelah sebelumnya terbit novel besar Bilangan Fu dan dua novel Seri Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa serta Lalita. Novel Maya dalam Seri Bilangan Fu yang ketiga ini menghubungkan Seri Bilangan Fu dengan novel dwilogi Saman dan Larung. Tokoh-tokoh dalam novel Maya merupakan tokoh-tokoh besar novel Bilangan Fu seperti Parang Jati, Suhubudi dan tiga tokoh lain yang hadir dari novel dwilogi Saman dan Larung; Yasmin, Saman dan Larung.

Bila dalam novel Bilangan Fu lebih filosofis, seri Maya ini lebih merupakan perjalanan batin untuk banyak pemahaman. Pemahaman akan diri sendiri, cinta, dan negara. Perjalanan batin ini bermula ketika Yasmin menerima tiga pucuk surat dari kekasih gelapnya, Saman, setelah Saman dinyatakan hilang selama dua tahun. Bersama suratnya, aktivis hak asasi manusia itu juga mengirimkan sebutir batu akik. Untuk menjawab peristiwa misterius itu Yasmin yang sesungguhnya sangat rasional dan kurang mempercayai hal-hal mistis datang kepada seorang guru kebatinan, Suhubudi. Di padepokan guru kebatinan yang sekaligus ayah Parang Jati, diketahui dulunya seringkali didatangi oleh Saman yang sebelumnya bernama Frater Wisanggeni. Batu akik itu sendiri, Saman dapatkan dari Parang Jati saat dirinya masih seorang frater.

Minggu, 23 Februari 2014

PENGANTIN BATU


“Bagaimana mungkin kau akan menikahinya?”
            “Aku akan tetap menikah dengannya, apa pun alasannya!”
            “Tapi, tapi perempuan itu. . .” perempuan paruh baya yang tidak lain ibunya sendiri tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Anak lelakinya terlanjur membawa perempuan pilihannya pulang. Hal paling tepat yang harus ia lakukan hanya menyediakan kamar pribadi bagi calon menantunya. Anak lelakinya membuat peraturan sendiri untuk kunjungan ke kamar calon pengantinnya itu. Ia akan mengunjungi ketika rembulan tanggal lima belas terbit. Ibunya akan mengunjungi setiap hari untuk memastikan calon menantunya itu baik-baik saja dan merasa betah tinggal di kamar yang ranjangnya berkelambu putih.
            Ibunya akan mengurus semua keperluan calon menantunya. Ia mulai membelikan pakaian dan perlengkapan rias. Ibunya juga yang akan mengenakan pakaian itu dan memandikannya. Meskipun ia tak pernah sepenuh hati melakukannya, tetapi ia akan melakukannya untuk anak semata wayangnya. Sati, seorang pembantu mereka akan mengirim sarapan, makan siang dan makan malam pada jam-jam tertentu serta membersihkan kamarnya. Keduanya seolah melayani seorang putri yang didatangkan dari kerajaan Majapahit.

Kamis, 23 Januari 2014

KARAM

Keperawanan ini telah rayut, sayang. Hanya untuk menunggumu kembali. Menanti hal yang tak pernah ku sadari. Bahwa kau dan aku telah karam dalam perpisahan.

            Hujan kembali mengguyur dermaga senja ini. Hujan kesekian kali yang membasahi tubuh renta dengan rambut yang mulai beruban. Tubuh yang selalu menghadap kebarat setiap kali senja tiba. Menatap mentari yang hampir meninggalkan bumi. Menunggu munculnya kapal yang membawa seseorang setelah matahari ini tenggelam. Mungkin para pelayar yang bekerja di dermaga ini telah hafal akan bahasa tubuhku. Bahasa tubuh yang telah rayut dalam penantian. Bahkan dibawah hujan yang tak kunjung reda ini, ku relakan tubuhku tetap bertahan dibawah payung hitam yang suatu saat nanti akan memayungi kematianku. Kematian dalam kesepian yang tak kunjung usai.
            Aku teringat beberapa puluh tahun lalu saat menonton pemantasan teater Rendra dengan lakon Kereta Kencana, disebuah Auditorium Universitas Petra, Siwalankerto, Surabaya. Aku dan dia memilih duduk dibaris ketiga. Ia menggenggam mesra tanganku. Meremas lembut jemariku. Lima belas menit lagi, tepatnya pukul 19.00 pementasan yang kami tunggu akan segera dimulai.

Selasa, 21 Januari 2014

PULANG

            Aku menghitung mundur detik-detik kepulangannya. Aku menghitung mundur hari-hari yang kian sempit untuk ku lalui bersamanya. Aku menimang sebuah tanggal dan hari yang telah menyambutnya. Pulang.
***
            Jingga telah berkilat memenuhi cakrawala. Sang bidadari yang telah menyengat seharian tadi mulai meredup, membulat dan melangkah mundur secara perlahan menuju langit barat. Ia masih mengintip malu menyaksikan burung layang-layang yang juga terbang ke barat menuju sarangnya. Membentuk formasi yang berubah-ubah. Saling menggoda pasangannya.

Senin, 20 Januari 2014

KANIGORO


            Bukan Mbah Reso bila tidak memakai celana kain kolor komprang dan baju hitam seperti seorang warok dengan kaos putih didalamnya. Usianya telah mencapai delapan puluh delapan tahun. Usia yang kebanyakan orang telah mengalami sakaratul maut atau mulai sakit-sakitan dan tinggal menunggu jemputan ke alam baka. Tapi Mbah Reso lain. Ia memulai hidup sehat dengan menyulut rokok setiap pagi sebagai sarapan empat sehat lima sempurna. Rokok lintingan yang biasanya ia racik sendiri. Ia akan duduk di depan padepokannya mulai pukul enam hingga pukul sembilan pagi. Dalam tiga jam itu ia akan meninggalkan puluhan putung rokok lintingan di sekitar ia duduk. Setelah jam-jam itu biasanya akan ada anak-anak kecil yang main ke padepokannya dan memunguti sisa putung rokok Mbah Reso.
            “Buat apa, le?”
            Dolanan, mbah.”

Minggu, 05 Januari 2014

METAFORA

I
Melihatmu di kepung gedung-gedung tua kampus, maka tampaklah
olehku matahari terbit dari balik pundakmu. Meski sebenarnya
jam telah mengantar matahari tepat di atas ubun-ubun.
Aku masih bisa merekammu dari ketinggian lantai tiga.
Masih bisa ku sibakan debu yang menghalangi pandanganku.
Di ketinggian lantai tiga, di antara dua mataku yang terluka menatapmu,
memenjarakan tubuhmu dalam kornea mataku,
masih bisa ku sebut namamu dalam hati yang memar ini.
Tanpa ku harus turun dan menepuk bahumu, ketinggian lantai tiga ini
masih menampung tubuhku untuk tak terjatuh dihadapanmu.

prev next