Kamis, 04 Juli 2013

REMBULAN DI LANGIT HATI



Aku terjun…
Merajut renda-renda cinta
Dibawah naungan rembulan,
Mencoba simpulkan senyummu
Diantara bias-bias cahayanya

            “Ah, hampir  selesai,” aku tersenyum bangga dihadapan kain sulamku yang hampir terselesaikan. Nuansa pantai ketika malam hari yang dihiasi sorot rembulan  diatasnya, nampak terkesan indah. Kurajut namaku dan namanya ditengah rembulan itu. Kilau cahaya kasih sayang yang seakan tak pernah pudar, menjadi pelita dalam nada-nada hampa.
             “Ehem, nama siapa thu?” goda seorang sahabatku setelah membaca nama seseorang yang bersanding dengan namaku.
            Aku hanya menjawab dengan senyuman. Seolah itu cukup untuk mewakili segenap perasaanku. Ku tatap sulaman yang terukir namanya. Ku bayangkan sebuah wajah dengan simpul senyum yang menghias bibirnya. Rona senja berkilat dengan bias-bias mentari yang hampir tenggelam. Semilir angin memeluk rindu tak bertepi. Ku cerna semuanya dalam alunan nada. Genggaman erat tanganku masih terasa dilubuk hati, mengenggam sebuah cinta padanya.
            “Krik, krik, krik. . .!” suara jangkrik yang bersahut-sahutan memanggil rembulan yang masih terlelap dalam peraduannya.
            Malam bertandang dengan segala kesempurnaanya. Aku masih terduduk dihalaman rumah dengan kain sulamku. Aku telah menyelesaikan.
“Hai kau ini! Aku tanya, itu nama siapa?” tanya sahabatku lagi.
Kubuat ia penasaran dengan jawabanku yang hanya sebait senyum.
“Ah gak seru. O iya aku tahu. Pasti kekasihmu. Iya kan?” kini ia menebak seseorang yang memiliki nama itu.
            Sekali lagi, aku hanya tersenyum. Bayang dirinya kembali hadir, menari-nari dipelupuk mataku. Suasana hening menyergap kediaman kami. Ku tengadahkan wajahku ke atas menatap rembulan yang telah sempurna. Aku merasa, ia akan menjemputku dan membawa kedalam pelukannya.
            “Kekasihku,” lirihku tiba-tiba.
            “Apa?” Tanya sahabatku tak percaya.
            Kami hanya saling berpandangan menyusuri kejujuran dihati masing-masing.
            “Kekasihmu? Sungguh?” ia terlihat sangat penasaran.
            “Iya,” jawabku sambil terus memperhatikan rembulan.
            “Dimana dia sekarang?” tanyanya lagi.
            “Diatas rembulan itu,” jawabku tak meyakinkan.
            “Ah sudahlah…!” akhirnya ia pun menyerah untuk kembali bertanya.
            Kulirik ia sekejap. Tampaknya ia tengah berpikir, siapa kekasih yang ku maksud. Ku biarkan ia dengan rasa penasaran. Hanya saja aku pun tahu, dia memang kekasihku.
            Sendu rindu memeluk tubuhku malam ini. Ku bisikan sajak rindu untuknya lewat desir angin malam. Aku kembali ke kamarku. Tiga buah karya sulamku kini menghias dinding kamar. Sulaman pertama, bergambar sebuah rembulan yang tengah menghangati seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berdiri dibawah naungannya. Sulaman kedua, bergambar sebuah rembulan yang tengah berbagi kemesraan pada seorang perempuan yang berdiri sendiri, seolah dalam penantian. Dan sulaman ketiga yang bernuansa pantai dengan sebuah rembulan besar yang bertandang diatasnya, dan didalamnya terukir namaku dan namanya.
            Hanya aku yang mampu memahami makna gambar dalam sulamanku ini. Ku tatap lekat-lekat sulaman pertama. Dibawah teduhnya sang rembulan, seorang perempuan dan laki-laki didalam sulaman itu seolah tengah bercakap-cakap. Rembulan menjadi nyawa dalam setiap sulaman yang kubuat. Perempuan itu nampak bahagia di samping laki-laki itu. Tatap keduanya saling bertemu dalam kehangatan, hingga membuat sang rembulan iri pada sepasang kekasih itu. Tatkala wajah sang rembulan surut dihadapan mereka, cahayanya semakin mekar diatas ubun-ubun. Semakin terang, semakin terang, dan semakin menyilaukan. Sepasang kekasih itu tak lagi melihat satu sama lain. Cahaya rembulan itu terlalu terang hingga mengaburkan pandangan mereka.
            Ah, aku terlena pada nuansa malam itu. Cakrawala jingga menyembul penuh kedamaian ketika itu. Setiap tatapan teduhnya menyisir ulu hati, mengusir sepi yang tak mampu ku akhiri. Aku tersadar, semua hasil sulamanku adalah secuil kisah cintaku selama ini. Ku singkap sedikit gorden jendela kamarku, agar sang rembulan memperhatikanku. Ku ingin ia damai bersamanya. Sang rembulan yang telah menculik kekasihku malam itu.
            Tatkala cahaya yang menyilaukan itu pudar, kekasihku tak lagi ada disampingku. Ku coba mengejar, tapi sia-sia. Rembulan telah meminangnya bersama segala kesempurnaannya. Ia menjauh dari ubun-ubunku setelah berhasil membawa pergi kekasihku. Aku termenung dalam nada sunyi. Pekatnya malam tak mampu kuterawang tanpa cinta. Hingga aku benar-benar membenci hadirnya rembulan setiap saat.
            Setiap kali rembulan datang, aku berharap ia akan mengembalikan kekasihku. Tapi yang kurasa, rembulan itu terus bertandang diatas sana sambil menertawakan setiap harapku yang sia-sia. Seolah menghinaku.  Karena ku disini sendiri. Menatapnya, tanpa kekasih. Namun tak pernah sedikit pun terlintas dalam pikiranku, bahwa kekasihku mati ditelan cahaya rembulan. Karena aku pun tak kan siap untuk kehilangannya. Kekasihku, ia memiliki ruh bersayap yang suatu saat nanti akan menjemputku untuk bersanding dengannya.  Selamanya.
            Ku alihkan pandanganku pada gambar sulaman kedua. Seorang perempuan berdiri sendiri dibawah rembulan yang cukup jauh dari kaki langit. Perempuan itu mengurai butir bening di pipinya. Wajah sendu terhias bersamanya mengutip sajak rindu pada seorang kekasih. Bibirnya bergetar mengulang-ulang nama kekasihnya yang diculik rembulan.
            Hatiku kembali terpanggil untuk menyelami memori itu. Aku mulai ragu menunggu datangnya sang waktu. Menunggu sang rembulan mengembalikan kekasihku ke dalam pangkuan. Desir angin malam menerpa raga perempuan dalam sulaman itu, hingga baju merahnya berkibar-kibar mencoba mengusir sepi. Aku tak sadar kembali. Perempuan itu mengulurkan tangannya ke luar bingkai dan mengajakku masuk ke dalam dunianya.
            Kini aku berada didalam sulaman buatanku. Aku sendiri dalam dunia malam yang hanya ditemani cahaya rembulan. Kucari perempuan tadi, tapi ia tak ada. Perempuan itu adalah aku. Ya, akulah panghuni dunia sulam ini. Tanpa ragu ku ayunkan langkahku menyusuri kota rembulan. Sebuah kota yang tak pernah mengenal pagi, barang sedetik pun. Pohon pinus berjajar rapi disetiap tepian jalan yang ku lalui. Ini benar-benar sepi yang ,mencekik hati. Tak ada penerang di kota ini selain rembulan yang selalu setia bertandang di atas kota ini.
            Setelah cukup lama berjalan, aku mulai marasa kesepian. Tak ada kehidupan manusia dikota ini. Aku tak mungkin hidup sendiri dikota rembulan yang sama sekali tak mengenal mentari. Aku mulai berlari kebingungan mencari jalan keluar.
            “Dimanaaa. . .dimana, jalan keluarnya?” aku mulai dibuat panik ditengah-tengah hutan pinus yang menyeramkan.
            Rembulan itu hanya membisu diatas sana. Ia merasa bangga telah berhasil membawa kekasihku kedalam pelukannya. Ia hanya memberiku kehangatan dan cahaya yang redup dikota rembulan ini. Aku benar-benar membenci rembulan malam ini. Ia tak puas telah menyakitiku, menenggelamkan ragaku dalam nada-nada hampa. Aku berharap rembulan itu luluh dengan tangisku dan mengembalikan kekasihku, agar aku tak disini sendiri.
            Tapi tidak. Rembulan itu malah tersenyum manis diatas deritaku. Ia berhasil menyesatkanku dikota rembulan yang sunyi ini. Kemudian ku sandarkan tubuhku dibawah pohon pinus. Ku peluk lututku dan ku rapatkan wajahku diantara ke dua lututku. Tiba-tiba rembulan itu mendarat diatas ubun-ubunku. Membiaskan cahayanya hingga terasa sangat menyilaukan. Aku bangkit dari duduk dan menjauh darinya. Tapi kakiku seakan tertahan untuk tetap disitu dan memperhatikan pertunjukan hebat dibawah kilaunya.
            Sebuah wajah yang tak asing bagiku menyimpulkan sebuah senyum manis dibibirnya. Wajahnya tampak terang ditengah-tengah rembulan. Aku tak percaya. Itu wajah kekasihku. Ku ulurkan tanganku untuk menggapainya. Tapi…
            “Blup!” cahaya rembulan itu tiba-tiba sirna dan kota rembulan menjadi gelap gulita.
            Aku ketakutan dan kembali duduk dibawah pohon pinus tadi. Tiba-tiba kota rembulan kembali terang. Ku perhatikan sang rembulan yang telah kembali bertandang diatas sana. Ia benar-benar menghina dan mempermainkan perasaanku. Aku tak mampu memakinya. Kembali kusimpan harapku bersama segenap rindu dan cinta yang telah terpasung dihati. Aku hanya merasa kekasihku telah damai disana dan melupakan keberadaanku yang setia menantinya.
            Aku kembali bangkit untuk tak menyerah. Aku masih percaya, Cinta adalah Kebanggaan dalam Kegelapan. Kembali kutelusuri kota rembulan yang luas dan sunyi ini. Meski tanpa tujuan, aku tak berharap rembulan akan menuntunku dalam cahayanya. Biarkan cinta ini yang akan menuntunku pada cintanya yang telah digadai oleh rembulan. Cintaku tak akan terkalahkan oleh rembulan. Meski cahayanya begitu kuat untuk menghinaku dan menyergap kekasihku dalam pelukannya.
            Lama aku berjalan menyusuri kota rembulan yang tak berujung ini, hingga tenggorokanku terasa kering. Kujelajahkan mataku menyapu sekeliling, berharap ada nikmat surga. Dan kemudian mataku tertuju pada genangan jernih yang berada tak jauh dari tempatku berada. Sebuah telaga dengan mata airnya yang jernih menyeruku untuk meneguknya. Kuhampiri telaga itu dan kududuk ditepinya. Bayang sang rembulan berseri-seri diatas airnya. Lalu ku teguk air telaga menggunakan tanganku. Ah, sejuk sekali airnya.
            Kota rembulan semakin tak berujung setiap kali aku menyusuri jalannya. Bias-bias cinta masih berkembang dalam hatiku, menyilaukan setiap bayangmu yang hadir. Pencarianku tak berujung disini, mengingat setiap detak nadiku selalu merindu akan hadirmu. Ku tatap rambulan yang bertandang diatas sana. Hingga terbayang olehku para bidadari penghuninya tengah merayu kekasihku untuk menjadi pangerannya. Ku tepis pikiran burukku itu, karena ku yakin kau tercipta hanya untukku.
            Diujung jalan yang sejak tadi aku tapaki, nuansa senja sebuah pantai menyapa cakrawala hampaku. Sama persis dalam gambar sulamku yang ketiga. Hanya saja, ditengah rembulan yang bertandang tak jauh dari ubun-ubun itu tak ada ukiran namaku dan namanya. Aku berdiri ditepinya, membiarkan derai ombak menyapu kaki telanjangku. Gemuruh ombak menjadi melodi untuk mengusir sepiku. Serpihan-serpihan pasir pantai menerpa tubuhku diujung penantian. Air laut yang pasang semakin menggetarkan gemuruh ombak yang tampak hebat.
            Kembali kutatap rambulan diatas sana. Kali ini ada yang berbeda. Ada ukiran namaku dan namanya disana. Ku tatap lekat-lekat cahaya rembulan yang kian dekat. Sesuatu bersayap turun dari atas sana. Tanpa hitungan detik sesuatu bersayap itu telah berdiri dihadapanku.
            “Mars, kaukah itu?” tanyaku ragu.
            “Iya sayang. Selama ini aku hanya berpetualang dinegeri manusia, hingga ku temukan bidadari yang akan bersanding denganku diatas singgasana. Di negeri rambulan. Dan itu kamu. . .” suara lembutnya menggetarkan dawai-dawai asmara yang kini kurasa.
DSCN0281.JPG            Aku hanya terpaku dihadapannya. Ia benar-benar kekasihku yang memiliki ruh bersayap. Bahkan ia sangat tampan sebagai pangeran negeri rembulan.
            “Ikutlah denganku! aku menjemputmu Bintang!” pintanya kemudian.
            Rembulan itu kembali menampakan kilau cahayanya, membawaku terbang ke negerinya bersama kekasihku. Aku akan bertahta sebagai bidadari disana, disamping seorang pangeran tampan.
            “Bintang. . .Bintang. . .kamu dimana?” suara seorang sahabatku memanggil-manggil namaku didalam kamarku.
            Ia memperhatikan sulaman ketigaku yang tampak berbeda. Ada gambar seorang perempuan dan laki-laki disana. Ia tak tahu, bahwa itu adalah aku dan kekasihku.
            “Tenanglah sahabat, aku telah damai bersama kekasihku di negeri rembulan….,”
            
(Cerpen Juara Favorit Lomba Menulis Cerpen Remaja 2011, oleh PT. Rohto Laboratories)

0 komentar:

Posting Komentar

prev next