Aku terjun…
Merajut renda-renda
cinta
Dibawah naungan
rembulan,
Mencoba simpulkan
senyummu
Diantara bias-bias
cahayanya
“Ah, hampir selesai,” aku tersenyum bangga dihadapan kain
sulamku yang hampir terselesaikan. Nuansa pantai ketika malam hari yang dihiasi
sorot rembulan diatasnya, nampak
terkesan indah. Kurajut namaku dan namanya ditengah rembulan itu. Kilau cahaya
kasih sayang yang seakan tak pernah pudar, menjadi pelita dalam nada-nada
hampa.
“Ehem, nama siapa thu?” goda seorang sahabatku
setelah membaca nama seseorang yang bersanding dengan namaku.
Aku hanya menjawab dengan senyuman.
Seolah itu cukup untuk mewakili segenap perasaanku. Ku tatap sulaman yang
terukir namanya. Ku bayangkan sebuah wajah dengan simpul senyum yang menghias
bibirnya. Rona senja berkilat dengan bias-bias mentari yang hampir tenggelam.
Semilir angin memeluk rindu tak bertepi. Ku cerna semuanya dalam alunan nada.
Genggaman erat tanganku masih terasa dilubuk hati, mengenggam sebuah cinta
padanya.
“Krik, krik, krik. . .!” suara
jangkrik yang bersahut-sahutan memanggil rembulan yang masih terlelap dalam
peraduannya.
Malam bertandang dengan segala
kesempurnaanya. Aku masih terduduk dihalaman rumah dengan kain sulamku. Aku
telah menyelesaikan.
“Hai kau ini! Aku tanya, itu nama siapa?” tanya sahabatku
lagi.
Kubuat ia penasaran dengan jawabanku yang hanya
sebait senyum.
“Ah gak seru. O iya aku tahu. Pasti kekasihmu. Iya
kan?” kini ia menebak seseorang yang memiliki nama itu.
Sekali lagi, aku hanya tersenyum.
Bayang dirinya kembali hadir, menari-nari dipelupuk mataku. Suasana hening
menyergap kediaman kami. Ku tengadahkan wajahku ke atas menatap rembulan yang
telah sempurna. Aku merasa, ia akan menjemputku dan membawa kedalam pelukannya.
“Kekasihku,” lirihku tiba-tiba.
“Apa?” Tanya sahabatku tak percaya.
Kami hanya saling berpandangan
menyusuri kejujuran dihati masing-masing.
“Kekasihmu? Sungguh?” ia terlihat
sangat penasaran.
“Iya,” jawabku sambil terus
memperhatikan rembulan.
“Dimana dia sekarang?” tanyanya
lagi.
“Diatas rembulan itu,” jawabku tak
meyakinkan.
“Ah sudahlah…!” akhirnya ia pun
menyerah untuk kembali bertanya.
Kulirik ia sekejap. Tampaknya ia
tengah berpikir, siapa kekasih yang ku maksud. Ku biarkan ia dengan rasa
penasaran. Hanya saja aku pun tahu, dia memang kekasihku.
Sendu rindu memeluk tubuhku malam
ini. Ku bisikan sajak rindu untuknya lewat desir angin malam. Aku kembali ke
kamarku. Tiga buah karya sulamku kini menghias dinding kamar. Sulaman pertama,
bergambar sebuah rembulan yang tengah menghangati seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang berdiri dibawah naungannya. Sulaman kedua, bergambar sebuah
rembulan yang tengah berbagi kemesraan pada seorang perempuan yang berdiri
sendiri, seolah dalam penantian. Dan sulaman ketiga yang bernuansa pantai
dengan sebuah rembulan besar yang bertandang diatasnya, dan didalamnya terukir
namaku dan namanya.
Hanya aku yang mampu memahami makna
gambar dalam sulamanku ini. Ku tatap lekat-lekat sulaman pertama. Dibawah
teduhnya sang rembulan, seorang perempuan dan laki-laki didalam sulaman itu
seolah tengah bercakap-cakap. Rembulan menjadi nyawa dalam setiap sulaman yang
kubuat. Perempuan itu nampak bahagia di samping laki-laki itu. Tatap keduanya
saling bertemu dalam kehangatan, hingga membuat sang rembulan iri pada sepasang
kekasih itu. Tatkala wajah sang rembulan surut dihadapan mereka, cahayanya
semakin mekar diatas ubun-ubun. Semakin terang, semakin terang, dan semakin
menyilaukan. Sepasang kekasih itu tak lagi melihat satu sama lain. Cahaya
rembulan itu terlalu terang hingga mengaburkan pandangan mereka.
Ah, aku terlena pada nuansa malam
itu. Cakrawala jingga menyembul penuh kedamaian ketika itu. Setiap tatapan
teduhnya menyisir ulu hati, mengusir sepi yang tak mampu ku akhiri. Aku
tersadar, semua hasil sulamanku adalah secuil kisah cintaku selama ini. Ku
singkap sedikit gorden jendela kamarku, agar sang rembulan memperhatikanku. Ku
ingin ia damai bersamanya. Sang rembulan yang telah menculik kekasihku malam
itu.
Tatkala cahaya yang menyilaukan itu
pudar, kekasihku tak lagi ada disampingku. Ku coba mengejar, tapi sia-sia.
Rembulan telah meminangnya bersama segala kesempurnaannya. Ia menjauh dari
ubun-ubunku setelah berhasil membawa pergi kekasihku. Aku termenung dalam nada
sunyi. Pekatnya malam tak mampu kuterawang tanpa cinta. Hingga aku benar-benar
membenci hadirnya rembulan setiap saat.
Setiap kali rembulan datang, aku
berharap ia akan mengembalikan kekasihku. Tapi yang kurasa, rembulan itu terus
bertandang diatas sana sambil menertawakan setiap harapku yang sia-sia. Seolah
menghinaku. Karena ku disini sendiri.
Menatapnya, tanpa kekasih. Namun tak pernah sedikit pun terlintas dalam
pikiranku, bahwa kekasihku mati ditelan cahaya rembulan. Karena aku pun tak kan
siap untuk kehilangannya. Kekasihku, ia memiliki ruh bersayap yang suatu saat
nanti akan menjemputku untuk bersanding dengannya. Selamanya.
Ku alihkan pandanganku pada gambar
sulaman kedua. Seorang perempuan berdiri sendiri dibawah rembulan yang cukup
jauh dari kaki langit. Perempuan itu mengurai butir bening di pipinya. Wajah
sendu terhias bersamanya mengutip sajak rindu pada seorang kekasih. Bibirnya
bergetar mengulang-ulang nama kekasihnya yang diculik rembulan.
Hatiku kembali terpanggil untuk
menyelami memori itu. Aku mulai ragu menunggu datangnya sang waktu. Menunggu
sang rembulan mengembalikan kekasihku ke dalam pangkuan. Desir angin malam
menerpa raga perempuan dalam sulaman itu, hingga baju merahnya berkibar-kibar
mencoba mengusir sepi. Aku tak sadar kembali. Perempuan itu mengulurkan
tangannya ke luar bingkai dan mengajakku masuk ke dalam dunianya.
Kini aku berada didalam sulaman
buatanku. Aku sendiri dalam dunia malam yang hanya ditemani cahaya rembulan.
Kucari perempuan tadi, tapi ia tak ada. Perempuan itu adalah aku. Ya, akulah
panghuni dunia sulam ini. Tanpa ragu ku ayunkan langkahku menyusuri kota
rembulan. Sebuah kota yang tak pernah mengenal pagi, barang sedetik pun. Pohon
pinus berjajar rapi disetiap tepian jalan yang ku lalui. Ini benar-benar sepi
yang ,mencekik hati. Tak ada penerang di kota ini selain rembulan yang selalu
setia bertandang di atas kota ini.
Setelah cukup lama berjalan, aku
mulai marasa kesepian. Tak ada kehidupan manusia dikota ini. Aku tak mungkin hidup
sendiri dikota rembulan yang sama sekali tak mengenal mentari. Aku mulai
berlari kebingungan mencari jalan keluar.
“Dimanaaa. . .dimana, jalan keluarnya?”
aku mulai dibuat panik ditengah-tengah hutan pinus yang menyeramkan.
Rembulan itu hanya membisu diatas
sana. Ia merasa bangga telah berhasil membawa kekasihku kedalam pelukannya. Ia
hanya memberiku kehangatan dan cahaya yang redup dikota rembulan ini. Aku
benar-benar membenci rembulan malam ini. Ia tak puas telah menyakitiku,
menenggelamkan ragaku dalam nada-nada hampa. Aku berharap rembulan itu luluh
dengan tangisku dan mengembalikan kekasihku, agar aku tak disini sendiri.
Tapi tidak. Rembulan itu malah
tersenyum manis diatas deritaku. Ia berhasil menyesatkanku dikota rembulan yang
sunyi ini. Kemudian ku sandarkan tubuhku dibawah pohon pinus. Ku peluk lututku dan
ku rapatkan wajahku diantara ke dua lututku. Tiba-tiba rembulan itu mendarat
diatas ubun-ubunku. Membiaskan cahayanya hingga terasa sangat menyilaukan. Aku
bangkit dari duduk dan menjauh darinya. Tapi kakiku seakan tertahan untuk tetap
disitu dan memperhatikan pertunjukan hebat dibawah kilaunya.
Sebuah wajah yang tak asing bagiku
menyimpulkan sebuah senyum manis dibibirnya. Wajahnya tampak terang
ditengah-tengah rembulan. Aku tak percaya. Itu wajah kekasihku. Ku ulurkan
tanganku untuk menggapainya. Tapi…
“Blup!” cahaya rembulan itu
tiba-tiba sirna dan kota rembulan menjadi gelap gulita.
Aku ketakutan dan kembali duduk
dibawah pohon pinus tadi. Tiba-tiba kota rembulan kembali terang. Ku perhatikan
sang rembulan yang telah kembali bertandang diatas sana. Ia benar-benar
menghina dan mempermainkan perasaanku. Aku tak mampu memakinya. Kembali
kusimpan harapku bersama segenap rindu dan cinta yang telah terpasung dihati.
Aku hanya merasa kekasihku telah damai disana dan melupakan keberadaanku yang
setia menantinya.
Aku kembali bangkit untuk tak
menyerah. Aku masih percaya, Cinta adalah
Kebanggaan dalam Kegelapan. Kembali kutelusuri kota rembulan yang luas dan
sunyi ini. Meski tanpa tujuan, aku tak berharap rembulan akan menuntunku dalam
cahayanya. Biarkan cinta ini yang akan menuntunku pada cintanya yang telah
digadai oleh rembulan. Cintaku tak akan terkalahkan oleh rembulan. Meski
cahayanya begitu kuat untuk menghinaku dan menyergap kekasihku dalam
pelukannya.
Lama aku berjalan menyusuri kota
rembulan yang tak berujung ini, hingga tenggorokanku terasa kering. Kujelajahkan
mataku menyapu sekeliling, berharap ada nikmat surga. Dan kemudian mataku
tertuju pada genangan jernih yang berada tak jauh dari tempatku berada. Sebuah
telaga dengan mata airnya yang jernih menyeruku untuk meneguknya. Kuhampiri telaga
itu dan kududuk ditepinya. Bayang sang rembulan berseri-seri diatas airnya.
Lalu ku teguk air telaga menggunakan tanganku. Ah, sejuk sekali airnya.
Kota rembulan semakin tak berujung
setiap kali aku menyusuri jalannya. Bias-bias cinta masih berkembang dalam
hatiku, menyilaukan setiap bayangmu yang hadir. Pencarianku tak berujung
disini, mengingat setiap detak nadiku selalu merindu akan hadirmu. Ku tatap
rambulan yang bertandang diatas sana. Hingga terbayang olehku para bidadari
penghuninya tengah merayu kekasihku untuk menjadi pangerannya. Ku tepis pikiran
burukku itu, karena ku yakin kau tercipta hanya untukku.
Diujung jalan yang sejak tadi aku
tapaki, nuansa senja sebuah pantai menyapa cakrawala hampaku. Sama persis dalam
gambar sulamku yang ketiga. Hanya saja, ditengah rembulan yang bertandang tak
jauh dari ubun-ubun itu tak ada ukiran namaku dan namanya. Aku berdiri
ditepinya, membiarkan derai ombak menyapu kaki telanjangku. Gemuruh ombak
menjadi melodi untuk mengusir sepiku. Serpihan-serpihan pasir pantai menerpa
tubuhku diujung penantian. Air laut yang pasang semakin menggetarkan gemuruh ombak
yang tampak hebat.
Kembali kutatap rambulan diatas
sana. Kali ini ada yang berbeda. Ada ukiran namaku dan namanya disana. Ku tatap
lekat-lekat cahaya rembulan yang kian dekat. Sesuatu bersayap turun dari atas
sana. Tanpa hitungan detik sesuatu bersayap itu telah berdiri dihadapanku.
“Mars, kaukah itu?” tanyaku ragu.
“Iya sayang. Selama ini aku hanya
berpetualang dinegeri manusia, hingga ku temukan bidadari yang akan bersanding
denganku diatas singgasana. Di negeri rambulan. Dan itu kamu. . .” suara
lembutnya menggetarkan dawai-dawai asmara yang kini kurasa.

“Ikutlah denganku! aku menjemputmu
Bintang!” pintanya kemudian.
Rembulan itu kembali menampakan
kilau cahayanya, membawaku terbang ke negerinya bersama kekasihku. Aku akan
bertahta sebagai bidadari disana, disamping seorang pangeran tampan.
“Bintang. . .Bintang. . .kamu
dimana?” suara seorang sahabatku memanggil-manggil namaku didalam kamarku.
Ia memperhatikan sulaman ketigaku
yang tampak berbeda. Ada gambar seorang perempuan dan laki-laki disana. Ia tak
tahu, bahwa itu adalah aku dan kekasihku.
“Tenanglah sahabat, aku telah damai
bersama kekasihku di negeri rembulan….,”
(Cerpen Juara Favorit Lomba Menulis Cerpen Remaja 2011, oleh PT. Rohto Laboratories)
0 komentar:
Posting Komentar