PROSES
kreatif penciptaan karya sastra, menulis itu, pada dasarnya merupakan urusan
yang soliter.* Mengutip kalimat Prof. Dr. Suminto A. Sayuti di atas, dapat
diterjemahkan dengan sederhana, bahwa proses kreatif dalam menulis harus timbul
atas kemauan dan kesadaran setiap pribadi. Menulis merupakan nafas utama bagi mahasiswa,
khususnya mahasiswa Sastra Indonesia. Sastra yang identik dengan hasil karya
sastra sering kali menjadi acuan keberhasilan dalam beberapa mata kuliah. Tidak
sia-sia memang, ketika para dosen pengampu mata kuliah tertentu mendorong
mahasiswanya untuk menghasilkan sebuah karya sastra untuk menjadi acuan
keberhasilan dalam mata kuliah tersebut. Barangkali dengan cara itu pula dapat
menyulut kembali sumbu kreativitas mahasiswa Sastra Indonesia yang sebagian
besar masih termangu-mangu atau bahkan tidak tahu sama sekali cara menulis
karya sastra. Tetapi akan sangat disayangkan apabila tugas tersebut
dilaksanakan hanya sekedar menggugurkan kewajiban kita sebagai mahasiswa. Tidak
ada sedikit pun evaluasi yang terjadi dalam diri kita, dari niat dosen yang
berharap dapat menyulut sumbu kreativitas di kalangan mahasiswa Sastra
Indonesia.
Sangat menyedihkan memang, setiap
kali tahun ajaran baru banyak mahasiswa yang akhirnya merasa tersesat karena
terdaftar sebagai mahasiswa Sastra Indonesia. Sehingga wajar jika kemudian
menimbulkan rasa ragu, takut dan tidak senang. Perasaan-perasaan seperti itu
dapat menghambat mahasiswa untuk berkarya sebagai seorang kreator, jika tidak
segera diredakan. Sastrawan bisa lahir dari mana saja, tetapi apakah sebagai
mahasiswa Sastra Indonesia kita akan diam saja ketika peluang berkarya terbuka
lebar bagi kita? Akankah kita kemudian juga memilih untuk menjadi mahasiswa
sastra yang akhirnya hanya sebagai penghafal teori? Sebagai mahasiswa Sastra
Indonesia, terkadang mereka kehilangan identitas diri. Tidak paham kreativitas
seperti apa yang akan mereka lakukan, karya seperti apa yang akan mereka
hasilkan. Padahal teori telah ada pada genggaman. Mereka tahu bahwa sastra
membaca masyarakat, bahwa sastra adalah ilmu kehidupan, bahwa sastra adalah
potret sejarah. Tetapi teori akhirnya hanyalah sebuah ungkapan hitam di atas
putih. Mahasiswa sastra bukan mesin panghafal yang setiap detik harus
memejamkan mata, membuka lagi, memejamkan lagi demi menghafal teori-teori.
Mahasiswa sastra merupakan bibit-bibit kreator, penulis, kritikus, yang kelak
akan mendokumentasikan potret kehidupan dalam sturuktur bahasa yang dinamis.
Teori adalah pengantar, sebagai mahasiswa sastra harus meninjau kembali,
memahami, atau bahkan merekonstruksi, karena teori sastra selalu berkembang.
Kembali mengutip kalimat Prof. Dr.
Suminto A. Sayuti, bahwa seorang kreator tidak mempunyai pilihan lain kecuali
mengisolasi dirinya dari kehidupan fana dan meloncat ke dalam semesta ingatan
yang paling dalam: dengan nostalgia, hasrat-hasrat rahasia, intuisi dan
instink, pendeknya dengan seluruh unsur yang memberi “makan” dan “makna”
imajinasi kreatif.* Untuk menjadi seorang kreator, banyak sumber yang mestinya
harus kita gali demi menumbuhkan kreativitas tersebut. Jangan biarkan sebagai
mahasiswa Sastra Indonesia terus-menerus kehilangan identitas diri. Kreativitas
sendiri tidak serta-merta datang dengan sendirinya jika dalam diri kita tidak
ada usaha untuk menggali dan menumbuhkan rasa percaya diri sebagai mahasiswa Sastra
Indonesia. Karena tak jarang saya jumpai para mahasiswa Sastra Indonesia yang
malu menyebut dirinya adalah mahasiswa Sastra Indonesia ketika orang lain
bertanya. Jika kita pernah mendengar puisi Taufiq Ismail berjudul Malu Aku Menjadi Orang Indonesia, maka
jangan biarkan bapak penyair kita itu membuat puisi berjudul “Malu Aku Menjadi
Mahasiswa Sastra Indonesia”, dengan keadaan para mahasiswa Sastra Indonesia
yang seperti menjadi pesakitan duduk dibangkunya. Karena pada kenyataannya,
dari teman-teman saya yang menyandang status sebagai mahasiswa Sastra Indonesia,
mereka masih terlihat bingung dengan program studi yang sedang mereka jalani.
Kebanyakan yang terlontar dari mereka adalah, setelah lulus mau kerja dimana?
Setelah lulus mau jadi apa? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu saya rasa
merupakan dampak kreativitas yang masih rendah di kalangan mahasiswa Sastra
Indonesia. Meskipun banyak juga alumni saya yang namanya sudah melang-lang
buana di dunia sastra dengan karya-karya mereka.
Membiarkan tidak pernah berkarya
atau berusaha menghasilkan karya, maka timbunan rasa malu sebagai mahasiswa Sastra
Indoensia akan semakin menggunung. Kita harus menciptakan ruang inspirasi
secara pribadi dalam kepala kita. Membiarkan imajinasi kreatif mengembara dan
diproses oleh perangkat dalam kepala kita, sehingga kita dapat mencerna dan
menuangkan dengan baik dalam sebuah karya.
Kreativitas tidak bisa hadir tanpa
sebuah rangsangan dan keinginan yang kuat dari dalam diri pribadi. Rangsangan
itu dapat berupa apa saja. Bisa dengan kita bergabung dengan
komunitas-komunitas menulis, atau yang paling dekat dengan mahasiswa adalah
memenuhi tugas dosen untuk menulis. Jika tugas tersebut lantas menjadi sebuah
kesadaran, maka seiring dengan adanya kemauan dan tekad yang kuat, maka
inspirasi itu akan datang melengkapi proses kreatif kita. Segala proses yang
kita lakukan akan sangat berpengaruh terhadap hasil kreativitas kita. Selamat
berproses. Selamat berkarya.
* Suminto A.
Sayuti dalam Kedaulatan Rakyat, Minggu Legi 12 Desember 1999 (4 PASA 1932)
0 komentar:
Posting Komentar