Selasa, 23 September 2014

Menyulut Sumbu Kreativitas Mahasiswa Sastra Indonesia




PROSES kreatif penciptaan karya sastra, menulis itu, pada dasarnya merupakan urusan yang soliter.* Mengutip kalimat Prof. Dr. Suminto A. Sayuti di atas, dapat diterjemahkan dengan sederhana, bahwa proses kreatif dalam menulis harus timbul atas kemauan dan kesadaran setiap pribadi. Menulis merupakan nafas utama bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa Sastra Indonesia. Sastra yang identik dengan hasil karya sastra sering kali menjadi acuan keberhasilan dalam beberapa mata kuliah. Tidak sia-sia memang, ketika para dosen pengampu mata kuliah tertentu mendorong mahasiswanya untuk menghasilkan sebuah karya sastra untuk menjadi acuan keberhasilan dalam mata kuliah tersebut. Barangkali dengan cara itu pula dapat menyulut kembali sumbu kreativitas mahasiswa Sastra Indonesia yang sebagian besar masih termangu-mangu atau bahkan tidak tahu sama sekali cara menulis karya sastra. Tetapi akan sangat disayangkan apabila tugas tersebut dilaksanakan hanya sekedar menggugurkan kewajiban kita sebagai mahasiswa. Tidak ada sedikit pun evaluasi yang terjadi dalam diri kita, dari niat dosen yang berharap dapat menyulut sumbu kreativitas di kalangan mahasiswa Sastra Indonesia.

Sangat menyedihkan memang, setiap kali tahun ajaran baru banyak mahasiswa yang akhirnya merasa tersesat karena terdaftar sebagai mahasiswa Sastra Indonesia. Sehingga wajar jika kemudian menimbulkan rasa ragu, takut dan tidak senang. Perasaan-perasaan seperti itu dapat menghambat mahasiswa untuk berkarya sebagai seorang kreator, jika tidak segera diredakan. Sastrawan bisa lahir dari mana saja, tetapi apakah sebagai mahasiswa Sastra Indonesia kita akan diam saja ketika peluang berkarya terbuka lebar bagi kita? Akankah kita kemudian juga memilih untuk menjadi mahasiswa sastra yang akhirnya hanya sebagai penghafal teori? Sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, terkadang mereka kehilangan identitas diri. Tidak paham kreativitas seperti apa yang akan mereka lakukan, karya seperti apa yang akan mereka hasilkan. Padahal teori telah ada pada genggaman. Mereka tahu bahwa sastra membaca masyarakat, bahwa sastra adalah ilmu kehidupan, bahwa sastra adalah potret sejarah. Tetapi teori akhirnya hanyalah sebuah ungkapan hitam di atas putih. Mahasiswa sastra bukan mesin panghafal yang setiap detik harus memejamkan mata, membuka lagi, memejamkan lagi demi menghafal teori-teori. Mahasiswa sastra merupakan bibit-bibit kreator, penulis, kritikus, yang kelak akan mendokumentasikan potret kehidupan dalam sturuktur bahasa yang dinamis. Teori adalah pengantar, sebagai mahasiswa sastra harus meninjau kembali, memahami, atau bahkan merekonstruksi, karena teori sastra selalu berkembang.
Kembali mengutip kalimat Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, bahwa seorang kreator tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengisolasi dirinya dari kehidupan fana dan meloncat ke dalam semesta ingatan yang paling dalam: dengan nostalgia, hasrat-hasrat rahasia, intuisi dan instink, pendeknya dengan seluruh unsur yang memberi “makan” dan “makna” imajinasi kreatif.* Untuk menjadi seorang kreator, banyak sumber yang mestinya harus kita gali demi menumbuhkan kreativitas tersebut. Jangan biarkan sebagai mahasiswa Sastra Indonesia terus-menerus kehilangan identitas diri. Kreativitas sendiri tidak serta-merta datang dengan sendirinya jika dalam diri kita tidak ada usaha untuk menggali dan menumbuhkan rasa percaya diri sebagai mahasiswa Sastra Indonesia. Karena tak jarang saya jumpai para mahasiswa Sastra Indonesia yang malu menyebut dirinya adalah mahasiswa Sastra Indonesia ketika orang lain bertanya. Jika kita pernah mendengar puisi Taufiq Ismail berjudul Malu Aku Menjadi Orang Indonesia, maka jangan biarkan bapak penyair kita itu membuat puisi berjudul “Malu Aku Menjadi Mahasiswa Sastra Indonesia”, dengan keadaan para mahasiswa Sastra Indonesia yang seperti menjadi pesakitan duduk dibangkunya. Karena pada kenyataannya, dari teman-teman saya yang menyandang status sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, mereka masih terlihat bingung dengan program studi yang sedang mereka jalani. Kebanyakan yang terlontar dari mereka adalah, setelah lulus mau kerja dimana? Setelah lulus mau jadi apa? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu saya rasa merupakan dampak kreativitas yang masih rendah di kalangan mahasiswa Sastra Indonesia. Meskipun banyak juga alumni saya yang namanya sudah melang-lang buana di dunia sastra dengan karya-karya mereka.
Membiarkan tidak pernah berkarya atau berusaha menghasilkan karya, maka timbunan rasa malu sebagai mahasiswa Sastra Indoensia akan semakin menggunung. Kita harus menciptakan ruang inspirasi secara pribadi dalam kepala kita. Membiarkan imajinasi kreatif mengembara dan diproses oleh perangkat dalam kepala kita, sehingga kita dapat mencerna dan menuangkan dengan baik dalam sebuah karya.
Kreativitas tidak bisa hadir tanpa sebuah rangsangan dan keinginan yang kuat dari dalam diri pribadi. Rangsangan itu dapat berupa apa saja. Bisa dengan kita bergabung dengan komunitas-komunitas menulis, atau yang paling dekat dengan mahasiswa adalah memenuhi tugas dosen untuk menulis. Jika tugas tersebut lantas menjadi sebuah kesadaran, maka seiring dengan adanya kemauan dan tekad yang kuat, maka inspirasi itu akan datang melengkapi proses kreatif kita. Segala proses yang kita lakukan akan sangat berpengaruh terhadap hasil kreativitas kita. Selamat berproses. Selamat berkarya.

* Suminto A. Sayuti dalam Kedaulatan Rakyat, Minggu Legi 12 Desember 1999 (4 PASA 1932)

0 komentar:

Posting Komentar

prev next