“Bagaimana mungkin kau
akan menikahinya?”
“Aku
akan tetap menikah dengannya, apa pun alasannya!”
“Tapi,
tapi perempuan itu. . .” perempuan paruh baya yang tidak lain ibunya sendiri tak
kuasa melanjutkan kalimatnya. Anak lelakinya terlanjur membawa perempuan
pilihannya pulang. Hal paling tepat yang harus ia lakukan hanya menyediakan
kamar pribadi bagi calon menantunya. Anak lelakinya membuat peraturan sendiri
untuk kunjungan ke kamar calon pengantinnya itu. Ia akan mengunjungi ketika
rembulan tanggal lima belas terbit. Ibunya akan mengunjungi setiap hari untuk
memastikan calon menantunya itu baik-baik saja dan merasa betah tinggal di
kamar yang ranjangnya berkelambu putih.
Ibunya
akan mengurus semua keperluan calon menantunya. Ia mulai membelikan pakaian dan
perlengkapan rias. Ibunya juga yang akan mengenakan pakaian itu dan
memandikannya. Meskipun ia tak pernah sepenuh hati melakukannya, tetapi ia akan
melakukannya untuk anak semata wayangnya. Sati, seorang pembantu mereka akan
mengirim sarapan, makan siang dan makan malam pada jam-jam tertentu serta
membersihkan kamarnya. Keduanya seolah melayani seorang putri yang didatangkan
dari kerajaan Majapahit.
Perempuan
paruh baya itu menyeka wajah menantunya dengan handuk dan air hangat. Ia meraba
setiap celah lekuk wajah calon menantunya yang tenang. Ia bisa merasakan tulang
pipinya yang menonjol, tulang hidungnya yang cukup pantas untuk dikatakan
mancung, bibirnya tipis tanpa menyungging senyum. Tubuhnya ramping, akan tampak
menjulang dan berwarna biru bila terkena cahaya purnama, seperti Ratna Manjali
yang di kenal sebagai putri seorang ratu teluh dari kerajaan Calwanarang.
Secara lahiriah calon menantunya cantik luar biasa. Tetapi ia tetap menahan air
mata ketika menyeka wajahnya.
“Pilihkan
seorang perempuan yang sama baiknya dengan anak kita untuk menjadi istrinya!”
wasiat almarhum suaminya terasa menggema di bawa angin pagi. Masuk melalui
jendela terali bersama sinar matahari yang hangat.
Apakah perempuan ini sama baiknya dengan
anak kita sehingga ia bersikeras untuk memperistrinya? Hatinya bertanya
tanpa jawaban. Air matanya hangat meleleh membasahi wajahnya yang tirus. Calon
menantunya tetap memberikan tatapan tenang tanpa sepatah kata pun. Perempuan
paruh baya yang tak lain calon mertuanya itu berusaha kembali menyungging
senyum berusaha menerima keputusan anaknya.
Bulan
tanggal lima belas terbit dari timur. Bulat sempurna berwarna kuning terang.
Jendela terali di kamar calon menantu telah terbuka, membiarkan membelai
tubuhnya yang ramping dan akan tampak menjulang seperti bangunan candi Hindu.
Seluruh tubuhnya mengeluarkan cahaya biru. Malam ini giliran anak lelakinya, si
calon suami yang akan datang mengunjungi kamarnya. Ia masuk setelah bulan mulai
beranjak naik. Angin berebut di depan jendela untuk menyaksikan apa yang akan
dikatakan lelaki itu pada calon pengantinnya.
“Kau
cantik sekali malam ini.” Sambutan ketika ia masuk sama sekali tak membuat
perempuan itu bergeming. Ia tetap pada posisinya. Berdiri anggun di hadapan
jendela, seperti sedang menyaksikan atraksi kelinci bulan. Bakal calon suaminya
berdiri disampingnya sambil melingkarkan tangan dipinggulnya yang ramping. Di
depan pintu kamar yang sedikit terbuka, sang ibu sedang menyeka air mata. Ia
berharap anak lelaki semata wayangnya dapat mengubah keputusannya.
“Dua
minggu lagi aku akan sidang thesis, setelah itu aku akan menikahimu. Jadi kau
tak perlu lagi kesepian berada di kamar yang dingin ini.” Lelaki itu berhenti
sejenak lalu melanjutkan dengan cerita yang lain.
“Kau tahu, memahami
arkeologi bukan sekedar ilmu yang mempelajari tumpukan batu-batu tua berlumut
dan rapuh. Tetapi juga sisa kehidupan dan sisa kejayaan masa lampau yang di
sembunyikan alam. Para arkeolog muda saat ini banyak dibutuhkan pemikiran dan
penelitiannya untuk dinas kepurbakalaan yang mayoritas berisi orang-orang tua
yang mulai malas melakukan penelitian. Coba perhatikan, di Indonesia sendiri
masih banyak peninggalan sejarah yang mungkin belum ditemukan dan masih
terpendam.” Lelaki itu seolah memberikan pelajaran pada calon pengantinnya. Ia
bercerita panjang lebar tentang arkeologi yang digelutinya. Bahkan ibunya yang
kini mendengarkan di depan pintu tak pernah mendapat cerita semenarik itu dari
anak lelakinya. Tetapi perempuan di sampingnya masih diam. Ia tidak menanggapi
sedikit pun cerita dari lelaki yang telah di buat tenggelam oleh pesonanya.
Tetapi itu tidak membuat lelaki itu berhenti bercerita. Ia akan bercerita
sampai bulan mulai merendah ke barat. Bila tak ada lagi hal yang diceritakan,
maka keduanya hanya membisu menikam keheningan malam. Menunggu bulan merendah
ke barat dan si lelaki akan keluar dari kamarnya.
PENGANTIN perempuan
telah siap dikamarnya, dengan pakaian seorang putri dari kerajaan Majapahit.
Lelakinya juga siap dengan baju kebesaran raja Majapahit. Jika disandingkan,
kedunya akan tampak seperti pembesar Majapahit yang dilahirkan kembali.
Undangan terbatas. Ia juga tak mungkin mengeluarkan pengantin perempuannya.
Maka pernikahan dilaksanakan di kamar pengantin perempuan. Sati menyingkirkan
bunga-bunga yang biasa ia bawakan untuk sarapan, makan malam dan makan siang
calon pengantin perempuan. Meski ia tahu bunga itu sebenarnya tak akan pernah
di makan, ia hanya menggantinya ketika bunga-bunga itu telah layu. Seorang
penghulu yang tak lain adalah seorang biksu memasuki kamar pengantin perempuan.
“Damar!” pekiknya
ketika melihat pengantin perempuan yang berdiri di hadapan jendela adalah
sebuah pahatan batu berbentuk perempuan.
“Apa kau sudah gila?”
“Tentu saja tidak.
Perempuan yang pantas mendampingi Damarwulan hanyalah Anjasmara. Maka
nikahkanlah kami. Aku sudah bersusah payah membawanya kemari.”
“Tidak. Tidak. Kamu
harus mengembalikannya ke tempat semula, Damar!” Ia telah mengambilnya dari
salah satu arca yang sedang ditelitinya beberapa bulan lalu. Bongkahan batu
Anjasmara telah menawan hatinya untuk membawanya pulang.
Sementara keributan
terjadi di dalam, sang ibu hanya sesenggukan di ruang tamu. Sati duduk
disampingnya menenangkan.
Biksu
itu membacakan mantra. Damarwulan diam tanpa berani menyentuhnya. Setelah
selesai membaca mantra ia menikahkan keduanya dihadapan sang ibu yang dipapah
oleh Sati untuk memasuki kamar. Melihat anak lelakinya menjadi sekeras batu
dengan pahatan yang nyaris sempurna, sang ibu semakin sesenggukan berusaha
untuk tidak pingsan demi mengikuti sakralnya pernikahan putranya.
“Semoga
keduanya diberkati.” Ucap biksu menutup upacara pernikahan dan undur diri dari
rumah tersebut. Sepasang pengantin itu berdiri saling berhadapan di depan
jendela terali dan akan bersama-sama menyala biru setiap kali purnama kembali.
Yogya, 26 Januari 2014
Cerpen Riau Pos, edisi 23 Februari 2014
0 komentar:
Posting Komentar