Minggu, 23 Februari 2014

PENGANTIN BATU


“Bagaimana mungkin kau akan menikahinya?”
            “Aku akan tetap menikah dengannya, apa pun alasannya!”
            “Tapi, tapi perempuan itu. . .” perempuan paruh baya yang tidak lain ibunya sendiri tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Anak lelakinya terlanjur membawa perempuan pilihannya pulang. Hal paling tepat yang harus ia lakukan hanya menyediakan kamar pribadi bagi calon menantunya. Anak lelakinya membuat peraturan sendiri untuk kunjungan ke kamar calon pengantinnya itu. Ia akan mengunjungi ketika rembulan tanggal lima belas terbit. Ibunya akan mengunjungi setiap hari untuk memastikan calon menantunya itu baik-baik saja dan merasa betah tinggal di kamar yang ranjangnya berkelambu putih.
            Ibunya akan mengurus semua keperluan calon menantunya. Ia mulai membelikan pakaian dan perlengkapan rias. Ibunya juga yang akan mengenakan pakaian itu dan memandikannya. Meskipun ia tak pernah sepenuh hati melakukannya, tetapi ia akan melakukannya untuk anak semata wayangnya. Sati, seorang pembantu mereka akan mengirim sarapan, makan siang dan makan malam pada jam-jam tertentu serta membersihkan kamarnya. Keduanya seolah melayani seorang putri yang didatangkan dari kerajaan Majapahit.
            Perempuan paruh baya itu menyeka wajah menantunya dengan handuk dan air hangat. Ia meraba setiap celah lekuk wajah calon menantunya yang tenang. Ia bisa merasakan tulang pipinya yang menonjol, tulang hidungnya yang cukup pantas untuk dikatakan mancung, bibirnya tipis tanpa menyungging senyum. Tubuhnya ramping, akan tampak menjulang dan berwarna biru bila terkena cahaya purnama, seperti Ratna Manjali yang di kenal sebagai putri seorang ratu teluh dari kerajaan Calwanarang. Secara lahiriah calon menantunya cantik luar biasa. Tetapi ia tetap menahan air mata ketika menyeka wajahnya.
            “Pilihkan seorang perempuan yang sama baiknya dengan anak kita untuk menjadi istrinya!” wasiat almarhum suaminya terasa menggema di bawa angin pagi. Masuk melalui jendela terali bersama sinar matahari yang hangat.
            Apakah perempuan ini sama baiknya dengan anak kita sehingga ia bersikeras untuk memperistrinya? Hatinya bertanya tanpa jawaban. Air matanya hangat meleleh membasahi wajahnya yang tirus. Calon menantunya tetap memberikan tatapan tenang tanpa sepatah kata pun. Perempuan paruh baya yang tak lain calon mertuanya itu berusaha kembali menyungging senyum berusaha menerima keputusan anaknya.
            Bulan tanggal lima belas terbit dari timur. Bulat sempurna berwarna kuning terang. Jendela terali di kamar calon menantu telah terbuka, membiarkan membelai tubuhnya yang ramping dan akan tampak menjulang seperti bangunan candi Hindu. Seluruh tubuhnya mengeluarkan cahaya biru. Malam ini giliran anak lelakinya, si calon suami yang akan datang mengunjungi kamarnya. Ia masuk setelah bulan mulai beranjak naik. Angin berebut di depan jendela untuk menyaksikan apa yang akan dikatakan lelaki itu pada calon pengantinnya.
            “Kau cantik sekali malam ini.” Sambutan ketika ia masuk sama sekali tak membuat perempuan itu bergeming. Ia tetap pada posisinya. Berdiri anggun di hadapan jendela, seperti sedang menyaksikan atraksi kelinci bulan. Bakal calon suaminya berdiri disampingnya sambil melingkarkan tangan dipinggulnya yang ramping. Di depan pintu kamar yang sedikit terbuka, sang ibu sedang menyeka air mata. Ia berharap anak lelaki semata wayangnya dapat mengubah keputusannya.
            “Dua minggu lagi aku akan sidang thesis, setelah itu aku akan menikahimu. Jadi kau tak perlu lagi kesepian berada di kamar yang dingin ini.” Lelaki itu berhenti sejenak lalu melanjutkan dengan cerita yang lain.
“Kau tahu, memahami arkeologi bukan sekedar ilmu yang mempelajari tumpukan batu-batu tua berlumut dan rapuh. Tetapi juga sisa kehidupan dan sisa kejayaan masa lampau yang di sembunyikan alam. Para arkeolog muda saat ini banyak dibutuhkan pemikiran dan penelitiannya untuk dinas kepurbakalaan yang mayoritas berisi orang-orang tua yang mulai malas melakukan penelitian. Coba perhatikan, di Indonesia sendiri masih banyak peninggalan sejarah yang mungkin belum ditemukan dan masih terpendam.” Lelaki itu seolah memberikan pelajaran pada calon pengantinnya. Ia bercerita panjang lebar tentang arkeologi yang digelutinya. Bahkan ibunya yang kini mendengarkan di depan pintu tak pernah mendapat cerita semenarik itu dari anak lelakinya. Tetapi perempuan di sampingnya masih diam. Ia tidak menanggapi sedikit pun cerita dari lelaki yang telah di buat tenggelam oleh pesonanya. Tetapi itu tidak membuat lelaki itu berhenti bercerita. Ia akan bercerita sampai bulan mulai merendah ke barat. Bila tak ada lagi hal yang diceritakan, maka keduanya hanya membisu menikam keheningan malam. Menunggu bulan merendah ke barat dan si lelaki akan keluar dari kamarnya.

PENGANTIN perempuan telah siap dikamarnya, dengan pakaian seorang putri dari kerajaan Majapahit. Lelakinya juga siap dengan baju kebesaran raja Majapahit. Jika disandingkan, kedunya akan tampak seperti pembesar Majapahit yang dilahirkan kembali. Undangan terbatas. Ia juga tak mungkin mengeluarkan pengantin perempuannya. Maka pernikahan dilaksanakan di kamar pengantin perempuan. Sati menyingkirkan bunga-bunga yang biasa ia bawakan untuk sarapan, makan malam dan makan siang calon pengantin perempuan. Meski ia tahu bunga itu sebenarnya tak akan pernah di makan, ia hanya menggantinya ketika bunga-bunga itu telah layu. Seorang penghulu yang tak lain adalah seorang biksu memasuki kamar pengantin perempuan.
“Damar!” pekiknya ketika melihat pengantin perempuan yang berdiri di hadapan jendela adalah sebuah pahatan batu berbentuk perempuan.
“Apa kau sudah gila?”
“Tentu saja tidak. Perempuan yang pantas mendampingi Damarwulan hanyalah Anjasmara. Maka nikahkanlah kami. Aku sudah bersusah payah membawanya kemari.”
“Tidak. Tidak. Kamu harus mengembalikannya ke tempat semula, Damar!” Ia telah mengambilnya dari salah satu arca yang sedang ditelitinya beberapa bulan lalu. Bongkahan batu Anjasmara telah menawan hatinya untuk membawanya pulang.
Sementara keributan terjadi di dalam, sang ibu hanya sesenggukan di ruang tamu. Sati duduk disampingnya menenangkan.   
            Biksu itu membacakan mantra. Damarwulan diam tanpa berani menyentuhnya. Setelah selesai membaca mantra ia menikahkan keduanya dihadapan sang ibu yang dipapah oleh Sati untuk memasuki kamar. Melihat anak lelakinya menjadi sekeras batu dengan pahatan yang nyaris sempurna, sang ibu semakin sesenggukan berusaha untuk tidak pingsan demi mengikuti sakralnya pernikahan putranya.
            “Semoga keduanya diberkati.” Ucap biksu menutup upacara pernikahan dan undur diri dari rumah tersebut. Sepasang pengantin itu berdiri saling berhadapan di depan jendela terali dan akan bersama-sama menyala biru setiap kali purnama kembali.

Yogya, 26 Januari 2014
Cerpen Riau Pos, edisi 23 Februari 2014

0 komentar:

Posting Komentar

prev next