Senin, 20 Januari 2014

KANIGORO


            Bukan Mbah Reso bila tidak memakai celana kain kolor komprang dan baju hitam seperti seorang warok dengan kaos putih didalamnya. Usianya telah mencapai delapan puluh delapan tahun. Usia yang kebanyakan orang telah mengalami sakaratul maut atau mulai sakit-sakitan dan tinggal menunggu jemputan ke alam baka. Tapi Mbah Reso lain. Ia memulai hidup sehat dengan menyulut rokok setiap pagi sebagai sarapan empat sehat lima sempurna. Rokok lintingan yang biasanya ia racik sendiri. Ia akan duduk di depan padepokannya mulai pukul enam hingga pukul sembilan pagi. Dalam tiga jam itu ia akan meninggalkan puluhan putung rokok lintingan di sekitar ia duduk. Setelah jam-jam itu biasanya akan ada anak-anak kecil yang main ke padepokannya dan memunguti sisa putung rokok Mbah Reso.
            “Buat apa, le?”
            Dolanan, mbah.”
            Hanya itu dialog singkat yang biasanya Mbah Reso lontarkan setiap kali melihat anak-anak itu memunguti putung rokoknya. Sehingga halaman itu sebagai sedia kala, tanpa putung rokok, tanpa ia harus membersihkan sendiri.
            Tengah hari, halaman padepokan akan sepi kembali. Anak-anak kembali ke rumahnya karena di minta ibu masing-masing untuk tidur siang. Mbah Reso kembali duduk di padepokannya. Kali ini tidak merokok. Ia nembang. Apa saja. Mulai dari macapatan, pocong, gambuh, Mbah Reso ahlinya. Suaranya serak dan masih teratur. Perlahan matanya terpejam dengan mulut yang masih nembang, seperti ia mengingat sesuatu. Pikirannya merekam ulang masa lalu yang tiba-tiba hilir mudik ikut nembang bersamanya.
            Puluhan tahun silam ketika usianya masih delapan tahun. Ayah dan kakeknya masih hidup. Setiap minggu pagi padepokan yang di beri nama Padepokan Kanigoro itu ramai di kunjungi anak-anak dan remaja yang berlatih silat dan tari. Ayahnya yang melatih silat dan ibunya yang melatih tari. Ia sendiri bahkan selalu bangun pagi dan ikut serta. Ia teringat ketika ayahnya juga sarapan rokok dari klobot jagung setiap pagi, termasuk sebelum memulai latihan silat di minggu pagi. Malam harinya, padepokan kembali ramai dengan kedatangan para warga yang akan latihan karawitan dan macapatan. Siapa pun boleh ikut. Neneknya yang selalu mengunyah sirih memiliki suara paling merdu di antara penembang yang lain. Kakeknya seorang wiyaga sekaligus dhalang dan ibunya seorang penari. Bukan hanya di hari minggu. Di hari-hari lain pun, padepokan itu tetap ramai. Latihan silat dan tari pada sore hari dan macapatan serta karawitan di malam hari. Sesekali halaman padepokan juga di gunakan untuk nanggap jathilan. Ayahnya, tentu saja juga ikut menjadi warok. Padepokan Kanigoro seolah menjadi pusat kebudayaan di kampung tersebut. Di kampung yang warganya bercocok tanam. Di kampung yang warganya tidak tercemar asap kendaraan kota. Di kampung yang warganya tidak mengenal Dinas Kebudayaan. Bagi mereka, pusat kebudayaan adalah Padepokan Kanigoro itu. Padepokan yang nguri-uri budaya daerah. Padepokan yang guyub rukun ngayomi warganya dengan kebudayaan.
            Itu puluhan tahun silam. Mbah Reso tersadar kembali dan tampak padepokan itu telah tua. Kayunya mulai di makan rayap, sehingga bubuk-bubuk kayu berjatuhan ke lantai semen yang sudah mulai retak. Enam tiang penyangga yang dulu masih tampak jelas ukiran kayunya, kini mulai samar bahkan lapuk di makan usia. Gentingnya bocor, sehingga setiap kali hujan turun airnya menggenangi njero padepokan.
            “Dug Gusti, kemana warga Kanigoro yang dulu?” katanya dalam hati, prihatin.
            Warga Kanigoro kini telah mengenal kota. Ada yang memutuskan untuk tinggal di sana. Bahkan anak lelaki Mbah Reso satu-satunya memutuskan untuk tinggal di kota bersama anak istrinya, begitu juga dengan dua anak perempuannya yang lain. Padepokan Kanigoro yang dulu begitu termashur hingga ke kota-kota kini tak ada bunyinya lagi. Seperangkat alat gamelan kembali di simpan. Kuda-kuda kepang dibiarkan tergantung dan dipenuhi kepiding.
Beberapa hari ini Mbah Reso menghabiskan waktunya di padepokan. Makan, tidur ia lakukan di sana. Sesekali ia mainkan gamelan itu sendiri. Ia teringat istrinya yang sudah almarhum, yang dulu juga seorang penari dari Padepokan Kanigoro. Terlebih di saat-saat seperti ini. Saat kesehatannya semakin menurun, tetapi itu tidak membuat ia mengurangi rokoknya. Ia sangat berharap ada salah satu anak, menantu atau cucunya yang bersedia meneruskan Padepokan Kanigoro ini. Setidaknya sebelum ia wafat, ia bisa melihat para penari berlatih di padepokan. Para penembang dan sindhen menyuarakan tembangnya. Para pengrawit menabuh gamelannya. Para pesilat tarung di halaman padepokan. Dan dhalang menyuarakan gara-gara yang khas itu. Itu saja. Harapan yang sangat sederhana untuk seorang lelaki tua yang begitu mencintai budayanya. Lelaki tua yang merasa suara-suara itu akan memperlambat ajalnya.
            “Pak, kok sendirian?” suara seorang lelaki menegur Mbah Reso dan membuyarkan segala ingatannya.
            Le, njanur gunung temen. Kok cuma sendirian?” Mbah Reso lekas memeluk anak lelakinya yang mendadak datang dari kota. Karena biasanya, anak-anaknya pulang pada saat lebaran idul fitri dan lebaran haji saja.
            Narto, anak lelaki Mbah Reso segera memapahnya masuk rumah. Seperti ada hal penting yang akan dibicarakan antara bapak dan anak itu.
            “Begini pak. . .” Narto agak kikuk mengutarakan maksudnya. Mbah Reso mengerutkan kening, heran. Tidak biasanya Narto serba kikuk begini. Sebenarnya ada apa?
            “Begini pak, Narto berniat memugar padepokan itu. . .”
            Ora bisa!” Mbah Reso spontan memotong kalimat anaknya dengan amarah. Tangannya memukul meja dihadapannya.
            “Kamu ini sama sekali tidak menghargai kebudayaan kita. Dari kecil bapak ngajari kamu nguri-uri budaya, begini hasilnya?” Mbah Reso tidak percaya dengan keputusan anaknya.
            Nuwun sewu pak, padepokan itu kan sudah lama dianggurkan. Bukankah alangkah baiknya kalau di pugar dan didirikan rumah. Lagi pula rumah bapak juga sudah tua. . .”
            “Tapi rumah ini masih layak huni. Rumah ini banyak menyimpan kenangan le. Kenangan dengan ibumu, simbahmu, dan warga Kanigoro yang dulu guyub rukun di Padepokan Kanigoro itu. Pokoknya bapak tidak setuju kalau padepokan itu di pugar!”
            Seperti terkena skak mat, Narto diam sejurus.
            Mbah Reso berjalan menuju ambang pintu sambil menatap penuh pada padepokan yang tepat berada di depan rumah utama.
            “Padepokan itu tinggalan mbah buyutku dulu. Titisan Eyang Iro Kusuma. Pasti kamu tidak tahu siapa dia. Ia petapa sakti yang menunggu pohon Kanigoro, pohon kehidupan, pohon yang bisa membangkitkan orang yang telah mati, bila orang tersebut diletakan di bawahnya. Ada saat-saat dimana Eyang Iro Kusuma suka nembang untuk menemani kesendiriannya menunggu pohon Kanigoro tersebut. Ia juga mulai mengumpulkan benda apa pun yang bisa dibunyikan, seperti batu hitam, batu asbak, dan. . . apa saja yang bisa ia bunyikan. Dengan kemahiran tangannya, ia pun menghasilkan suara yang merdu untuk mengiringi tembangnya. Satu per satu anak-anak yang ada di desa tersebut mulai berdatangan untuk diajarkan nembang dan memainkan benda-benda itu. Termasuk mbah buyutku, ketika masih anak-anak. ”
            Pohon Kanigoro menjadi sejarah berdirinya Padepokan Kanigoro, untuk mewadahi tetembangan yang sering di tembangkan Eyang Iro Kusuma. Jaman berkembang dan Padepokan Kanigoro mulai mengenal seperangkat gamelan. Padepokan Kanigoro ini berdiri tepatnya setelah pohon Kanigoro roboh dan orang-orang yang di tinggal mati anggota keluarganya tidak lagi bisa menghidupkan orang mati tersebut. Pada mulanya Padepokan Kanigoro mewadahi orang-orang yang ditinggal mati oleh keluarganya agar segera menamatkan masa berkabungnya. Namun perlahan semakin banyak masyarakat sekitar menempati padepokan tersebut. Dari yang mulanya hanya melihat, menjadi ikut serta sebagai pengrawit atau yang lainnya.
            Mbah Reso kembali meneruskan wejangan-nya.
            “Kalau kamu memaksa memugar padepokan ini, artinya kamu bersedia merobohkan tonggak kebudayaan di kampung kita ini, le. Kampung yang pada akhirnya diberi nama Kampung Kanigoro setelah menanggalkan nama Kampung Jurug, tepat saat Padepokan Kanigoro ini berdiri.”
            “Tapi masyarakat juga sudah tidak memperhatikan padepokan itu pak. Mereka lebih memilih tinggal di kota. Bahkan masyarakat yang masih tersisa di sini juga mulai disibukan dengan panen yang sering gagal, pupuk dan obat wereng yang harganya mulai naik. Memikirkan perut yang lapar lebih penting, pak.”
            “Kalian adalah generasi-generasi yang mudah di kalahkan oleh jaman. Kalian mulai takut kelaparan. Kalian mulai menjadi manusia yang memikirkan diri sendiri. Ku pikir aku telah gagal menjadi seorang ayah. Karena ternyata aku salah mendidikmu dengan cara mengenalkan budaya padamu sejak kecil. Padahal, budaya tidak pernah mengajarkan hal-hal yang membuat orang hanya memikirkan dirinya sendiri. Kalian benar-benar telah menjadi generasi yang kalah. . .”
            “Pak! Jangan menilai sembarangan! Bagaimana pun, aku dilahirkan dari keluarga yang serta merta nguri-uri budaya daerah ini. Aku juga bisa kalau hanya memainkan gamelan atau ndhalang. Tapi. . .”
            “Tapi memainkan gamelan atau ndhalang tidak membuat perutmu kenyang. Begitu kan maksudmu?”
Narto kembali terkena skak mat dan kehilangan kata-kata. Mbah Reso menyulut kecewanya bersamaan dengan rokok lintingan yang mulai bertandang di mulutnya menyalakan bara merah. Mbah Reso berjalan masuk menjauhi ambang pintu. Ia  bergegas menghilang di balik kain kumal yang menutup sebuah ruang. Ia masuk ke bilik  kamarnya.
“Pak, pak! Bukan begitu pak! Pak. . .”
            Sak karepmu. Aku ora tanggung jawab menawa Eyang Iro Kusuma murka!” ia berkata tak kalah keras dari dalam bilik kamarnya, tanpa peduli suara keduanya mulai mengetuk pintu rumah tetangga sekitar yang satu per satu mulai berdatangan memenuhi halaman padepokan. Lelaki tua itu berdiam di bilik kamarnya memendam kecewa yang tak mampu ia tunjukan di hadapan anak lanang-nya itu.
            Narto melangkahkan kaki keluar. Tetapi betapa terkejutnya ia, ketika menyaksikan banyak orang dipadepokan telah duduk bersila di hadapan gamelan yang sudah sekian lama kain penutupnya dibiarkan berdebu dan usang. Beberapa diantara mereka adalah anak-anak yang sering memunguti putung rokok Mbah Reso. Sang wiyaga yang usianya delapan tahun di bawah Mbah Reso segera mengomando para pengrawit yang lain dengan tabuhan kendhangnya. Gending Gangsaran mengalun, menyapa telinga tua Mbah Reso yang masih berdiam di kamarnya. Suara lama itu kembali. Suara-suara yang seolah akan membuat ia hidup lebih lama lagi.
   
Jogja, 8 Oktober 2013

0 komentar:

Posting Komentar

prev next