Senin, 12 Januari 2015

Review


GUBERNUR NYENTRIK DI TANGAN SANGGAR ARCANA: REFLEKSI KRITIK SOSIAL ALA DONGENG

Oleh: Weda S. Atmanegara



       Sama halnya dengan karya sastra yang lain, drama pun memiliki kewajiban untuk menyampaikan pesan kepada para pembacanya. Dalam hal ini, drama dapat menyampaikan pesan melalui sebuah pementasan. Artinya, dari naskah (teks) dibawa ke atas panggung lengkap dengan aktor, setting, lighting dan pendukung pentas yang lain. Melalui pementasan, naskah drama akan lebih mudah menyampaikan pesan kepada para penikmatnya (penonton). Sebab, pementasan tersebut akan melaporkan berbagai macam peristiwa dari naskah yang diangkat menjadi sebuah adegan dengan cara yang khas.

       Membaca naskah Gubernur Nyentrik (Episode: Negeri Para Pelupa) untuk pertama kalinya, saya merasa dilempar pada beberapa adegan yang menurut saya hanya sebagai tempelan dan tidak memiliki penghubung yang baik. Namun di tangan Sanggar Arcana, usai menjalani proses dan menikmati pementasannya, saya merasakan kerja naskah yang sesungguhnya. Beberapa perubahan dan penambahan yang dilakukan dalam penggarapan naskah membantu menghubungkan fragmen-fragmen yang sempat terpenggal dan hanya menjadi tempelan. Meskipun demikian masih ada beberapa titik, peristiwa-peristiwa dalam adegan tersebut masih menjadi fragmen-fragmen yang tidak memiliki jembatan penghubung yang baik. Namun dari hasil pementasan, tampak bahwa Sanggar Arcana telah berusaha menampilkan teks sebagai sesuatu yang dimainkan. 

       Menonton pementasan Gubernur Nyentrik (Episode: Negeri Para Pelupa), mau tidak mau membawa ingatan kita pada beberapa tokoh pemerintahan yang rela hidup sederhana bahkan memiskinkan dirinya demi rakyat. Jose Mujica, salah seorang presiden Uruguay yang menyumbangkan hampir seluruh gajinya dan memilih hidup di sebuah apartemen satu kamar yang kecil. Di Indonesia, kita dapat berkaca pada presiden yang disebut-sebut hobi blusukan dan gemar mengenakan hem kotak-kotak, Joko Widodo (Jokowi). Dari penampilannya yang sederhana dan di kenal hobi blusukan itu, melambungkan nama Jokowi sejak menjadi gubernur DKI Jakarta yang dikenal sebagai pribadi yang sederhana dan apa adanya. Namun Negeri Para Pelupa yang dimaksud pengarang sama sekali tidak merujuk pada salah satu negara tersebut, meskipun beberapa penonton berkomentar bahwa pementasan itu merujuk pada tokoh Jokowi atau Jose Mujica.

       Pementasan garapan Sanggar Arcana, yang diselenggarakan 18 Desember 2014 lalu merefleksikan sistem pemerintahan yang dipegang oleh seorang gubernur yang rela memiskinkan diri demi rakyat, permainan politik, serta kehidupan rakyat Negeri Para Pelupa yang kritis. Dengan dibumbui banyolan-banyolan bernada ironi, pementasan tersebut terasa lebih hidup dengan kritik-kritik yang disampaikan oleh para aktornya.

       Dari segi kostum dan make up, pementasan Gubernur Nyentrik ala Sanggar Arcana ini mengingatkan kita pada beberapa tokoh film dongeng Johny Deep (Ajudan), sedangkan istri gubernur dan gubernur meningatkan kita pada tokoh-tokoh Alice in Wonderland dan Charlie and The Chocolate Factory. Perpaduan fantasi dengan didukung gesture aktor yang menyerupai tokoh semar (Gubernur), atau Johny Deep yang sedang memerankan tokoh Joker (Ajudan).

Musik dalam pementasan ini juga menjadi unsur yang penting. Musik menjadi pembangun suasana dalam setiap adegan. Terlebih pada bagian dialog yang disisipi dengan lagu. Sekilas, pementasan ini menyerupai drama musikal mengingat dalam pementasan tersebut terdapat musik, laku, gerak dan tari yang dikolaborasikan.  

       Apa yang dituliskan oleh Agustan T. Syam dalam naskah dramanya yang berjudul Gubernur Nyentrik (Episode: Negeri Para Pelupa) ini merupakan refleksi dari kenyataan sosial yang juga terjadi di Indonesia. Korupsi, demonstrasi, dan berbagai ‘atraksi’ yang dilakukan di panggung pemerintahan demi posisi atau jabatan.



Yogyakarta, Januari 2015

        

0 komentar:

Posting Komentar

prev next