GUBERNUR
NYENTRIK DI TANGAN SANGGAR ARCANA: REFLEKSI KRITIK SOSIAL ALA DONGENG
Oleh: Weda S.
Atmanegara
Sama halnya dengan karya sastra yang
lain, drama pun memiliki kewajiban untuk menyampaikan pesan kepada para
pembacanya. Dalam hal ini, drama dapat menyampaikan pesan melalui sebuah
pementasan. Artinya, dari naskah (teks) dibawa ke atas panggung lengkap dengan
aktor, setting, lighting dan pendukung pentas yang lain. Melalui pementasan,
naskah drama akan lebih mudah menyampaikan pesan kepada para penikmatnya
(penonton). Sebab, pementasan tersebut akan melaporkan berbagai macam peristiwa
dari naskah yang diangkat menjadi sebuah adegan dengan cara yang khas.
Membaca naskah Gubernur Nyentrik (Episode: Negeri Para Pelupa) untuk pertama
kalinya, saya merasa dilempar pada beberapa adegan yang menurut saya hanya
sebagai tempelan dan tidak memiliki penghubung yang baik. Namun di tangan
Sanggar Arcana, usai menjalani proses dan menikmati pementasannya, saya
merasakan kerja naskah yang sesungguhnya. Beberapa perubahan dan penambahan
yang dilakukan dalam penggarapan naskah membantu menghubungkan fragmen-fragmen
yang sempat terpenggal dan hanya menjadi tempelan. Meskipun demikian masih ada beberapa
titik, peristiwa-peristiwa dalam adegan tersebut masih menjadi fragmen-fragmen
yang tidak memiliki jembatan penghubung yang baik. Namun dari hasil pementasan,
tampak bahwa Sanggar Arcana telah berusaha menampilkan teks sebagai sesuatu
yang dimainkan.
Menonton pementasan Gubernur Nyentrik (Episode: Negeri Para Pelupa), mau tidak mau
membawa ingatan kita pada beberapa tokoh pemerintahan yang rela hidup sederhana
bahkan memiskinkan dirinya demi rakyat. Jose Mujica, salah seorang presiden
Uruguay yang menyumbangkan hampir seluruh gajinya dan memilih hidup di sebuah
apartemen satu kamar yang kecil. Di Indonesia, kita dapat berkaca pada presiden
yang disebut-sebut hobi blusukan dan
gemar mengenakan hem kotak-kotak, Joko Widodo (Jokowi). Dari penampilannya yang
sederhana dan di kenal hobi blusukan
itu, melambungkan nama Jokowi sejak menjadi gubernur DKI Jakarta yang dikenal
sebagai pribadi yang sederhana dan apa adanya. Namun Negeri Para Pelupa yang
dimaksud pengarang sama sekali tidak merujuk pada salah satu negara tersebut,
meskipun beberapa penonton berkomentar bahwa pementasan itu merujuk pada tokoh
Jokowi atau Jose Mujica.
Pementasan garapan Sanggar Arcana, yang
diselenggarakan 18 Desember 2014 lalu merefleksikan sistem pemerintahan yang
dipegang oleh seorang gubernur yang rela memiskinkan diri demi rakyat,
permainan politik, serta kehidupan rakyat Negeri Para Pelupa yang kritis. Dengan
dibumbui banyolan-banyolan bernada ironi, pementasan tersebut terasa lebih
hidup dengan kritik-kritik yang disampaikan oleh para aktornya.
Dari segi kostum dan make up, pementasan
Gubernur Nyentrik ala Sanggar Arcana ini mengingatkan kita pada beberapa tokoh
film dongeng Johny Deep (Ajudan), sedangkan istri gubernur dan gubernur
meningatkan kita pada tokoh-tokoh Alice in Wonderland dan Charlie and The
Chocolate Factory. Perpaduan fantasi dengan didukung gesture aktor yang menyerupai tokoh semar (Gubernur), atau Johny
Deep yang sedang memerankan tokoh Joker (Ajudan).
Musik dalam pementasan ini juga menjadi unsur yang
penting. Musik menjadi pembangun suasana dalam setiap adegan. Terlebih pada
bagian dialog yang disisipi dengan lagu. Sekilas, pementasan ini menyerupai
drama musikal mengingat dalam pementasan tersebut terdapat musik, laku, gerak
dan tari yang dikolaborasikan.
Apa yang dituliskan oleh Agustan T. Syam
dalam naskah dramanya yang berjudul Gubernur
Nyentrik (Episode: Negeri Para Pelupa) ini merupakan refleksi dari
kenyataan sosial yang juga terjadi di Indonesia. Korupsi, demonstrasi, dan
berbagai ‘atraksi’ yang dilakukan di panggung pemerintahan demi posisi atau
jabatan.
Yogyakarta,
Januari 2015
0 komentar:
Posting Komentar