Kamis, 12 Maret 2015

MENEMPUH JALAN KESUNYIAN: TENTANG SEBUAH PERJUANGAN HIDUP


          

Menempuh jalan kesunyian, itulah yang selalu diucapkan Ajo Kawir, ketika setiap orang menantangnya untuk berduel. Jagoan duel dari kampung Bojong Soang itu belajar dari ‘burung’-nya. Ia tak lagi mengutuki ‘burung’-nya yang tak bisa berdiri seperti saat Ajo Kawir berusia belasan tahun. Lelaki itu kini menjadi seorang supir truk dan menikmati liku jalanan lintas Jawa-Sumatra atau terkadang Jawa-Bali. Kehidupan seorang supir truk yang serba keras harus ia lalui hanya dengan seorang kenek berusia sembilan belas tahun untuk menempuh jalan kesunyian seperti yang dilakukan ‘burung’-nya.


            Dalam novel ini Eka Kurniawan tak hanya bertumpu pada imajinasi, ia melandasi setiap alur cerita dengan pemikiran tentang kehidupan, pertahanan diri, kemenangan, dan kekalahan. Melalui Ajo Kawir, laku utama dalam novel ini, Eka Kurniawan berusaha mengaduk perasaan pembaca dengan setiap konflik yang harus dihadapi tokoh tersebut. Tokoh yang jago berduel itu akan menghadapi setiap lawannya dengan tangan terbuka. Ia tidak akan segan menghancurkan kepala lawannya, hanya untuk tujuan sederhana: melampiaskan kemarahan yang disebabkan oleh ‘si burung’.

            Jalan kesunyian yang akhirnya dipilih oleh Ajo Kawir bukan tanpa melalui proses yang panjang. Ia harus mengalami kekalahan dalam cintanya, mengalami kekalahan dalam pertarungannya dan mengalami kekalahan dalam menghadapi ‘si burung’. Jalan kesunyian itu ia sadari ketika ia dikhianti sang istri, Iteung. Perempuan itu hamil dengan lelaki lain dan membuat Ajo Kawir harus meninggalkannya. Dalam kepergian yang menyedihkan itu, Ajo Kawir memikirkan seberapa berguna dirinya bagi perempuan itu.

            Nrima ing pandum, demikian orang Jawa mengatakan. Filsafat Jawa tersebut akhirnya melekat dalam diri Ajo Kawir, yang dalam novel tersebut dikatakan dengan menempuh jalan kesunyian. Ia tak lagi suka mengumpat kepada ‘si burung’ yang malas untuk bangun. Ia tak lagi mencari lawan duel untuk melampiaskan kemarahannya karena ‘si burung’ yang tetap tak mau bangun meskipun ia telah memiliki istri. Melalui jalan kesunyian itu, Ajo Kawir memulai hidup seperti yang dilakukan para sufi. Setiap kali ia melakukan perjalanan dengan truknya, ia seperti bertapa dalam perjalanan. Warung-warung remang yang sering kali datang menggodanya, bagi Ajo Kawir hanya sebuah angin lalu. Sebab tak akan ada perempuan di tempat itu yang sanggup membuat ‘si burung’ bangun dari tidur panjangnya. Ajo Kawir seringkali melontarkan pertanyaan dengan ‘si burung’, apakah ia harus berduel lagi atau tidak. Seperti mendapat bisikan dari dimensi lain, lelaki itu merasa bahwa ‘si burung’ melarangnya untuk berduel.    

Eka Kurniawan, dengan apik mengolah alur cerita dalam novel tersebut. Kisah dalam novel tersebut seperti sebuah hasil studi yang dilakukan pengarang terhadap kehidupan sosok seorang lelaki. Lelaki yang merasa kehilangan jati diri hanya karena ulah ‘si burung’ yang tak mau dibangunkan. Lelaki yang berusaha menjalani kehidupan dengan menempuh jalan kesunyian dan berusaha menerima dengan keadaan ‘burung’-nya. Menariknya lagi, tokoh-tokoh dalam novel tersebut beberapa menggunakan nama binatang, seperti Tokek, Macan, Kumbang dan, Iwan Angsa, seolah nama-nama tersebut mewakili karakter tokoh dalam novel tersebut. Seperti preman paling disegani yang dipanggil Si Macan.

            Eka Kurniawan juga berhasil mengulur setiap alur untuk menuju penyelesaian. Ia membumbui dengan berbagai macam peristiwa yang tidak lengkap jika dilewatkan begitu saja. Penggalan-penggalan setiap cerita yang menunda imajinasi pembaca, mampu ia satukan kembali sehingga membentuk titik temu yang utuh. 

Weda S. Atmanegara

Bahasa & Sastra Indonesia 2012 
(Pewara Dinamika, Februari 2015)  



0 komentar:

Posting Komentar

prev next