
Dalam
novel ini Eka Kurniawan tak hanya bertumpu pada imajinasi, ia melandasi setiap
alur cerita dengan pemikiran tentang kehidupan, pertahanan diri, kemenangan,
dan kekalahan. Melalui Ajo Kawir, laku utama dalam novel ini, Eka Kurniawan
berusaha mengaduk perasaan pembaca dengan setiap konflik yang harus dihadapi
tokoh tersebut. Tokoh yang jago berduel itu akan menghadapi setiap lawannya
dengan tangan terbuka. Ia tidak akan segan menghancurkan kepala lawannya, hanya
untuk tujuan sederhana: melampiaskan kemarahan yang disebabkan oleh ‘si
burung’.
Jalan
kesunyian yang akhirnya dipilih oleh Ajo Kawir bukan tanpa melalui proses yang
panjang. Ia harus mengalami kekalahan dalam cintanya, mengalami kekalahan dalam
pertarungannya dan mengalami kekalahan dalam menghadapi ‘si burung’. Jalan
kesunyian itu ia sadari ketika ia dikhianti sang istri, Iteung. Perempuan itu
hamil dengan lelaki lain dan membuat Ajo Kawir harus meninggalkannya. Dalam
kepergian yang menyedihkan itu, Ajo Kawir memikirkan seberapa berguna dirinya
bagi perempuan itu.
Nrima ing pandum, demikian orang Jawa
mengatakan. Filsafat Jawa tersebut akhirnya melekat dalam diri Ajo Kawir, yang
dalam novel tersebut dikatakan dengan menempuh
jalan kesunyian. Ia tak lagi suka mengumpat kepada ‘si burung’ yang malas
untuk bangun. Ia tak lagi mencari lawan duel untuk melampiaskan kemarahannya
karena ‘si burung’ yang tetap tak mau bangun meskipun ia telah memiliki istri.
Melalui jalan kesunyian itu, Ajo Kawir memulai hidup seperti yang dilakukan
para sufi. Setiap kali ia melakukan perjalanan dengan truknya, ia seperti
bertapa dalam perjalanan. Warung-warung remang yang sering kali datang
menggodanya, bagi Ajo Kawir hanya sebuah angin lalu. Sebab tak akan ada
perempuan di tempat itu yang sanggup membuat ‘si burung’ bangun dari tidur
panjangnya. Ajo Kawir seringkali melontarkan pertanyaan dengan ‘si burung’,
apakah ia harus berduel lagi atau tidak. Seperti mendapat bisikan dari dimensi
lain, lelaki itu merasa bahwa ‘si burung’ melarangnya untuk berduel.
Eka Kurniawan, dengan apik mengolah
alur cerita dalam novel tersebut. Kisah dalam novel tersebut seperti sebuah
hasil studi yang dilakukan pengarang terhadap kehidupan sosok seorang lelaki.
Lelaki yang merasa kehilangan jati diri hanya karena ulah ‘si burung’ yang tak
mau dibangunkan. Lelaki yang berusaha menjalani kehidupan dengan menempuh jalan
kesunyian dan berusaha menerima dengan keadaan ‘burung’-nya. Menariknya lagi, tokoh-tokoh
dalam novel tersebut beberapa menggunakan nama binatang, seperti Tokek, Macan,
Kumbang dan, Iwan Angsa, seolah nama-nama tersebut mewakili karakter tokoh
dalam novel tersebut. Seperti preman paling disegani yang dipanggil Si Macan.
Eka
Kurniawan juga berhasil mengulur setiap alur untuk menuju penyelesaian. Ia
membumbui dengan berbagai macam peristiwa yang tidak lengkap jika dilewatkan
begitu saja. Penggalan-penggalan setiap cerita yang menunda imajinasi pembaca, mampu
ia satukan kembali sehingga membentuk titik temu yang utuh.
Weda S. Atmanegara
Bahasa & Sastra Indonesia 2012
(Pewara Dinamika, Februari 2015)
0 komentar:
Posting Komentar